Narasi Kecurangan dan Potensi Delegitimasi Pilpres 2019

Dimas Jarot Bayu
10 April 2019, 02:00
Pilpres 2019, Joko Widodo, Prabowo Subianto
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Prabowo Subianto menyampaikan orasi dalam acara kampanye akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta (7/4). Calon presiden Prabowo Subianto menyerukan agar pendukungnya untuk mengantisipasi adanya kecurangan pada Pilpres 2019.

Hanya saja, ia menilai adanya pelanggaran dalam Pilpres 2019 tidak lantas ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam Pilpres 2019. Segala pelanggaran dalam Pilpres 2019, menurutnya masih bisa diselesaikan oleh pihak berwenang, seperti Bawaslu, DKPP, Kepolisian, hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, narasi kecurangan yang disampaikan kubu Prabowo berpotensi mengancam tatanan yang ada. Sebab, narasi tersebut tak hanya mengarah kepada ketidakpercayaan diri terhadap politik elektoral, namun juga ketidakpercayaan kepada penyelenggara Pemilu dan mekanisme hukum yang ada.

Hal ini lantas dapat mendelegitimasi penyelenggaran Pemilu yang ada. "Ancaman semacam itu juga mengekspresikan sikap mau menang sendiri, yang kini merupakan suatu penyakit dalam politik nasional," kata Arif ketika dihubungi Katadata, Selasa (9/4).

Narasi Kecurangan dan Efeknya Pada Legitimasi Pemilu

Arif menilai narasi kecurangan yang disampaikan Prabowo dan tim suksesnya mirip insinuasi yang disampaikan Donald Trump ketika maju sebagai kandidat presiden pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 silam. Menjelang konvensi calon presiden Partai Republik AS, Trump sempat menuduh bahwa dirinya telah dicurangi.

Trump juga sempat menuduh Pilpres AS bakal berlangsung curang, bahkan sebelum berhadapan ia dengan Hillary Clinton. "Saat penghitungan suara mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangannya, dia (Trump) berkata, ‘saya akan lihat nanti’," kata Arif.

Meski demikian, narasi kecurangan Pemilu ini diyakini tak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar. Sebab, masyarakat Indonesia yang terpengaruh terhadap isu tersebut kecil.

Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Maret 2019, hanya 13% masyarakat yang tidak mempercayai kinerja KPU dan Bawaslu. Jika dirinci, ketidakyakinan terhadap kinerja KPU dari pendukung Prabowo-Sandiaga sebesar 23,3%. Sebaliknya, ketidakyakinan dari pendukung pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin kepada KPU hanya sebesar 4,1%.

Terkait pengawasan Bawaslu, SMRC menyebutkan ketidakyakinan pendukung Prabowo-Sandiaga sebesar 21,5%. Sementara, ketidakyakinan pendukung Jokowi-Ma'ruf terhadap pengawasan Bawaslu hanya sebesar 5,4%. "Jadi sejauh ini tidak banyak efeknya ke legitimasi penyelenggara Pemilu," kata Direktur Program SMRC, Sirojudin Abbas.

Meski demikian, narasi kecurangan Pemilu ini seharusnya tak dibiarkan. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu harus bisa memberi jaminan tegas terhadap legitimasi penyelenggaraan Pemilu.

Sirojuddin menambahkan, pihak-pihak yang menyebarkan fitnah terkait kecurangan Pemilu harus diusut. Sebab, jika terus-menerus diisukan atau diviralkan, ia khawatir masyarakat terpengaruh.

(Baca: Ma'ruf Amin: Laporkan Jika Ada Kecurangan Pada Pilpres 2019)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...