Dampak Lingkungan dari Hilangnya Komisi Amdal di UU Cipta Kerja

Rizky Alika
9 Oktober 2020, 10:40
Petugas kepolisian membubarkan Massa Aksi told Omnibus Law dengan menembakan gas air mata di Kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020). Aksi tersebut berujung bentrok dengan aparat kepolisian.
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Petugas kepolisian membubarkan Massa Aksi told Omnibus Law dengan menembakan gas air mata di Kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020). Aksi tersebut berujung bentrok dengan aparat kepolisian.

Selain itu, jumlah Tim Uji Kelayakan akan disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing daerah. "Sehingga kerterlambatan Amdal akibat tumpukan beban dapat dihindari," ujar dia.

Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengatakan, hilangnya Komisi Penilai Amdal akan memberikan beberapa implikasi. Salah satunya, ada potensi menjauhkan akses informasi bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah dalam menyusun Amdal.

"Terutama di daerah yang sulit terjangkau dan/atau tidak ramah dengan akses teknologi informasi," kata dia dalam siaran pers pada Kamis (8/10).

Kemudian, beban kerja pemerintah pusat akan jauh melampaui kemampuan dan laju kerusakan lingkungan hidup.

Selain itu, ia menyoroti tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan. Ini berbeda dengan Komisi Penilai Amdal yang memiliki unsur pakar di bidang pengetahuan terkait, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan hidup.

"Ini menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki dan berpeluang membuka partisipasi semu yang manipulatif," ujar dia.

Sebelumnya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika juga mempermasalahkan proses perizinan yang tidak melibatkan peran atau partisipasi masyarakat. “Bagian ini kemudian dibatasi hanya untuk mereka yang terdampak langsung. Nah, soal terdampak langsung ini menjadi perdebatan besar,” kata Hindun kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).

Masyarakat pun tak dapat lagi mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal dalam aturan baru tersebut. Pelemahan aturan lingkungan hidup ini, menurut Greenpeace, seharusnya tidak dilegalkan secara hukum. 
Pemerintah harus belajar untuk merevisi undang-undang yang memiliki urgensi sangat penting.

Jangan sampai aturan baru justru tidak menyelesaikan masalah di lapangan. “Konflik agraria dan kasus perebutan lahan hampir terjadi proyek besar. Artinya, ada masalah yang tidak selesai,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...