14 Poin Krusial dalam Revisi KUHP

Aryo Widhy Wicaksono
29 Juni 2022, 16:24
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa tolak RKHUP di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa tolak RKHUP di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
  • Pengguguran Kandungan

Mengenai aborsi, pemerintah mengubah ketentuan pada Pasal 469 menjadi:

(1) Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.

Selanjutnya pada Pasal 470 diubah menjadi Pasal 468, dan berbunyi:

(1) Setiap Orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan:

a. dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun; atau

b. tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Kemudian untuk Pasal 471 berubah menjadi Pasal 469, sehingga berbunyi:

(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468, pidana dapat
ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.

(3) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 ayat (2) tidak dipidana.

  • Penggelandangan

Terkait masalah ini, diatur pada Pasal 431 yang menyatakan "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I."

Ketentuan ini tetap, dengan mempertimbangkan ketertiban umum, sehingga sanksi yang diberikan bukan pidana perampasan kemerdekaan seperti penjara, tetapi denda.

Ketentuan mengenai penggelandangan tetap perlu diatur dalam RKUHP mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012 yang menyebutkan pelarangan hidup bergelandangan tidak berkaitan dengan kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

  • Perzinahan, Kohabitasi, dan Perkosaan

Perzinahan

Mengenai perzinahan, pemerintah memutuksan untuk mengubah Pasal 417 menjadi Pasal 415, dan berbunyi:

(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Persoalan perzinahan ini dirumuskan sebagai delik aduan, dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang yang paling terkena dampak.

Kohabitasi

Mengenai kohabitasi atau hidup bersama-sama, Pasal 418 diubah menjadi Pasal 416, sehingga berbunyi:

(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Sementara terkait aturan kepala desa yang dapat mengadukan kepada aparat dihapuskan. Pemerintah juga merumuskan pasal ini sebagai delik aduan dan membatasi pengadunya kepada orang yang paling terkena dampak, seperti suami atau istri yang terikat perkawinan, orang tua atau anaknya bagi mereka yang tidak terikat perkawinan.

Perkosaan

Menyangkut perkosaan, pemerintah mengubah Pasal 479 menjadi Pasal 477, dengan menambahkan aturan mengenai persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental pada ayat (2) huruf d.

Kemudian juga menambahkan ayat (5), yang mengatur setiap orang yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengan orang lain.

Selain itu, pada ayat (6) juga menambahkan aturan mengenai perkosaan dalam ikatan perkawinan, penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan korban.

Selanjutnya ditambahkan juga ayat (8), jika korban perkosaan meniggal dunia, pidana tambahan 1/3 masa hukuman dari ancaman pidana maksimal 15 tahun, sebagaimana diatur jika korban perkosaan mengalami luka berat.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...