Napak Tilas Perjalanan Soeharto, dari Kemunculan hingga Kejatuhannya

Tifani
Oleh Tifani
30 September 2022, 06:00
Soeharto
ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Ilustrasi, museum H.M. Soeharto, didirikan Probosutedjo bersama anak Soeharto pada 2013 di Bantul, Yogyakarta.

UU 5/1974 juga tidak dengan tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah. Pemerintah pusat masih memegang kendali dana pembangunan sehingga pemerintah daerah tidak bisa mengaturnya sendiri.

Hal ini terjadi karena paradigma pembangunan Orde Baru menuntut sistem perencanaan yang terpusat. Kemudian menyebabkan penyeragaman sistem organisasi pemerintah daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan daerah.

Akibat dari penerapan pendekatan terpusat itu adalah semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Inilah yang menjadi akar dari hubungan pusat-daerah, yang bersifat patronase.

Di sisi lain, institusi-institusi internasional juga menggambarkan performa ekonomi Indonesia sebagai "Macan Asia" dan "High Performing Asian Economy".

Ironisnya, karakteristik Orde Baru yang supresif, ternyata menjadi kunci pengentasan kemiskinan, karena hanya ada sedikit ruang untuk menentang pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Alhasil, gerak pemerintah lebih leluasa dalam menjalankan program-program sosial.

Perlu diingat, pada pertengahan dekade 1960-an, lebih dari 50% penduduk Indonesia diklasifikasikan sebagai kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, pada 1993 angka ini berkurang menjadi 13,5% dari jumlah total penduduk.

Indikator-indikator sosial lain, seperti partisipasi di sekolah, angka kematian bayi, dan usia harapan hidup, juga menunjukkan hasil-hasil positif yang serupa.

Meskipun masyarakat frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tinggi di lingkaran pemerintahan, Pemerintah selalu bisa merujuk pada pembangunan ekonomi yang mengesankan. Di saat yang sama, usaha memberantas korupsi juga dilakukan pada era pemerintahan Soeharto.

Misalnya, pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 1985, karena praktik-praktik penyelewengan yang sudah kronis. Saat itu, sebagian peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibekukan, dan dialihkan ke lembaga swasta asing, yakni Société Générale de Surveillance (SGS), yang berasal dari Swiss.

Di saat yang sama, dilakukan pembenahan menyeluruh terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, agar bisa kembali dipercaya menjalankan tugasnya. Butuh kurang lebih 10 tahun hingga kewenangan urusan kepabeanan dan cukai kemudian dikembalikan sepenuhnya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Krisis Ekonomi Menggoyang Pemerintahan Soeharto

Selama dekade 1990-an, Orde Baru di bawah kendali Soeharto mulai kehilangan kontrol ketika masyarakat Indonesia menjadi semakin asertif. Sejak awal tahun 1993 demonstrasi-demonstrasi menjadi lebih sering terjadi, dan acap kali membuahkan hasil.

Misalnya, sebuah lotere yang disponsori pemerintah terpaksa dihentikan karena demonstrasi oleh para mahasiswa maupun kelompok-kelompok Muslim.

Kemudian, beberapa pejabat yang didukung pemerintah pusat dikalahkan saat pemilihan umum di daerah-daerah. Ini menunjukkan kepada masyarakat, bahwa pemerintahan di bawah Soeharto bukannya tanpa kelemahan.

Namun, di awal-awal 1990-an pemerintahan Soeharto masih kuat. Goyahnya pemerintahan era Soeharto ditandai goyangnya fondasi ekonomi Indonesia kala badai krisis ekonomi melanda pada 1997-1998.

Sejatinya, krisis keuangan ini menerpa hampir seluruh negara di Asia, pada Juli 1997. Krisis ekonomi ini menimbulkan kepanikan, bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan mata uangnya, karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar AS. Saat itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar, hingga dinyatakan bangkrut, bahkan sebelum nilai mata uangnya jatuh.

Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun. Bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swasta naik drastis. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah.

Pemerintahan Soeharto sendiri menerapkan kebijakan nilai tukar tetap, di mana dolar AS dijaga di rentang Rp 2.000-Rp 2.500. Ini karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Namun, kebijakan menjaga nilai kurs tersebut justru menggerus cadangan devisa Indonesia.

Pada akhirnya, pemerintah mengambil kebijakan kurs mengambang. Kebijakan ini membuat dolar AS mulai merangkak naik ke Rp 4.000 di akhir 1997, dan berlanjut menjadi Rp 6.000 di awal 1998. Sampai akhirnya nilai tukar rupiah anjlok ke level Rp 16.650 per dolar AS. Perekonomian pun kacau balau.

Kondisi perekonomian nasional sejak terjadinya gejolak nilai tukar pertengahan 1997 berubah secara drastis. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan selama dekade sebelumnya memudar dengan cepat.

Perekonomian nasional terus mengalami kontraksi sebesar 12,59% hingga kuartal II-1998. Pendapatan perkapita merosot tajam sehingga menempatkan Indonesia kembali pada klasifikasi negara "miskin". Laju inflasi melambung tinggi, di mana pada September 1998 telah mencapai 75,47%.

Meski belum mencapai hiperinflasi seperti yang pernah terjadi pada dekade 1960-an, laju inflasi yang tinggi ini menekan daya beli riil masyarakat, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan masyarakat kecil.

Beberapa pihak berargumen bahwa kinerja yang terjadi tidak dibangun atas dasar struktur yang kuat. Menurut Warr (1998), pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih disebabkan penumpukkan stok modal melalui aliran modal asing, ketimbang peningkatan produktifitas tenaga kerja.

Adanya deregulasi sektor keuangan di akhir dekade 1980-an telah berdampak pada meningkatnya arus modal masuk, khususnya utang swasta. Utang swasta terus mengalami peningkatan, di mana pada akhir 1996 telah mencapai US$ 51,1 miliar.

Pada akhirnya, ekonomi yang dibangun Soeharto selama lebih dari 30 tahun ternyata berdiri di fondasi yang sangat tipis, dan rentan. Nyatanya, perekonomian Indonesia yang dibangun dari utang ini, tidak mampu menghadapi badai krisis. Alhasil, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru makin menipis.

Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru

Kondisi perekonomian yang kian parah membuat rakyat Indonesia frustasi, dan menuntut adanya perubahan yang nyata. Demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia, terutama di DKI Jakarta, yang merupakan jantung pemerintahan.

Ketidakpuasan rakyat makin menjadi, kala aksi demonstrasi ditanggapi dengan keras oleh aparat keamanan. Salah satu peristiwa yang terkenal, adalah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.

Saat itu, aparat keamanan bertindak represif terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, serta puluhan lainnya luka.

Kondisi politik makin muram. Ini terlihat dari puluhan ribu tentara yang bersiaga di jantung kekuasaan, mengantisipasi rencana demonstrasi besar-besaran yang akan dilakukan mahasiswa pada 20 Mei 1998. Saat itu, jumlah tentara yang disiagakan untuk mengamankan Ibu Kota mencapai 80.000 personel.

Situasi Jakarta memang sedemikian mencekam, dengan tentara siap siaga di segala tempat. Bahkan, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Makassar dan Banten telah ditarik ke Jakarta. Bisa dikatakan, sepertiga kekuatan angkatan bersenjata berada di ibu kota.

Meski menghadapi hadangan banyaknya personel yang siap melumat gerakan menuntut reformasi, para mahasiswa tidak gentar dan tetap teguh pada pendirian untuk maju menuntut pengunduran diri Soeharto. Misi mereka hanya satu, menumbangkan kekuasaan rezim yang telah bercokol lebih dari tiga dekade.

Sementara, kondisi internal pemerintahan Soeharto sendiri tidak baik-baik saja. Ia ditinggalkan orang-orang yang sebelumnya setia di sisinya.

Harmoko, mantan Menteri Penerangan, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, meminta Soeharto mengundurkan diri, atau DPR/MPR terpaksa memilih presiden baru. Para menteri di kabinet Soeharto sendiri sudah merasakan tanda bahwa rezim ini bakal kolaps.

Pada 20 Mei, sebanyak 14 menteri bidang ekonomi dan industri berkumpul di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Mereka bersepakat untuk mundur dari kabinet, dan melayangkan surat pengunduran diri, disertai permintaan agar Soeharto mundur dari kursi kekuasaan.

Kala Soeharto membaca surat pengunduran para menterinya, disertai desakan mundur dari DPR/MPR, serta orang-orang terdekatnya pada 20 Mei 1998 malam, ia akhirnya mengambil keputusan untuk mundur.

Keputusan tersebut diumumkan secara resmi olehnya pada 21 Mei 1998, dan pucuk pimpinan negara diserahkan pada sang wakil, Bacharuddin Jusuf Habibie. Tirai kekuasaan selama 32 tahun telah tertutup, dan Indonesia menatap masa depan yang tidak dibayangi oleh otoritarianisme.

Pasca-lengser, Soeharto sempat diadili dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan dana-dana yayasan. Ia sendiri bersedia bertanggung jawab atas dana-dana tersebut.

Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008, dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.

Secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Soeharto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...