Gojek dan Grab PHK, Benarkah Bisnis Ojek Online Gagal Tahun Ini?
Gojek dan Grab melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK tahun ini. Bagaimana bisnis taksi dan ojek online sejak awal tahun?
INDEF atau Institute for Development of Economics and Finance menyampaikan, layanan taksi dan ojek online masif digunakan sebelum pandemi corona dan ketika kasus Covid-19 tinggi maupun saat menurun.
“Rata-rata pengeluaran konsumen layanan taksi dan ojek online berkisar Rp 50 ribu - Rp 250 ribu per minggu,” kata INDEF dalam keterangan pers, Rabu (7/12).
Frekuensi penggunaan layanan taksi dan ojek online, yakni:
- Layanan taksi dan ojek online rata-rata empat sampai 12 kali setiap minggu
- Layanan logistik tujuh sampai sembilan kali pengiriman per minggu
Lebih rinci lagi dapat dilihat pada Grafik di bawah ini:
Itu berdasarkan survei INDEF terhadap 2.304 responden untuk berbagi rumpangan (ride hailing) dan 1.152 terkait logistik.
Responden berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Bandung, Palembang, Bali, Yogyakarta, dan Balikpapan. Khusus untuk logistik yakni di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
Tingkat kesalahan dari hasil survei atau margin of error 5%. Survei dilakukan secara online pada Agustus – September.
Sebelumnya Google, Temasek, dan Bain memperkirakan, transaksi layanan taksi dan ojek online di Indonesia diramal US$ 8 miliar atau sekitar Rp 124,2 triliun tahun ini. Itu tertuang dalam laporan bertajuk e-Conomy Southeast Asia 2022.
Rincian perkirakan kenaikan transaksi taksi dan ojek online di Indonesia, sebagai berikut:
- Naik 9% per tahun selama 2019 – 2021
- Naik 19% dari 2021 US$ 7 miliar menjadi US$ 8 miliar pada 2022
- Naik 22% per tahun dari 2022 US$ 9 miliar menjadi US$ 15 miliar pada 2025
Meski begitu, Gojek dan Grab masih mencatatkan kerugian. Angkanya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Grab pun melakukan PHK kepada karyawan di lini bisnis GrabKitchen. Ini merupakan divisi dapur sewa yang disebut cloud kitchen.
Chief Communications Officer Grab Indonesia Mayang Schreiber menyampaikan bahwa GrabKitchen beroperasi sejak 2018. “Selama empat tahun beroperasi, terlihat pertumbuhan yang tidak konsisten, serta adanya peralihan menjadi model bisnis aset-ringan,” kata dia kepada Katadata.co.id, pada Oktober (22/10).
“Situasi ini memaksa kami mengambil keputusan sulit, untuk tidak melanjutkan operasi GrabKitchen di Indonesia, efektif mulai 19 Desember,” tambah dia. “Langkah berat ini berdampak langsung pada belasan karyawan Grab.”
Induk Gojek, GoTo memangkas 1.300 pegawai atau 12% dari total. Manajemen GoTo mengatakan bahwa perusahaan harus mengambil keputusan sulit di tengah kondisi perlambatan makro ekonomi.
"Tantangan makroekonomi global berdampak signifikan bagi para pelaku usaha di seluruh dunia. GoTo, seperti layaknya perusahaan besar lainnya, perlu beradaptasi untuk memastikan kesiapan perusahaan menghadapi tantangan ke depan," kata Audrey, bulan lalu (18/11).
Bisnis Ojek Online Dianggap Gagal
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno menilai, bisnis taksi dan ojek online lantaran pengemudi sering berunjuk rasa.
“Pengemudi ojek online sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatan, karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar,” kata dia dalam keterangan pers, pada Oktober (9/10).
Menurutnya, bisnis taksi dan ojek online gagal yang terlihat dari pendapatan pengemudi yang turun. Hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub menunjukkan, 50,1% responden mendapatkan penghasilan Rp 50 ribu – Rp 100 ribu per hari. Sedangkan 44,1% mengeluarkan biaya operasional Rp 50 ribu – Rp 100 ribu.
Itu artinya, penghasilan yang mereka dapat hanya cukup untuk membayar bahan bakar hingga makan dan minum selama di lapangan. “Pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya,” kata Djoko.
Jika dihitung secara bulanan, 34,5% pengemudi ojek online hanya mendapatkan Rp 1 juta – Rp 2 juta. Lalu 26,9% hanya Rp 3 juta – Rp 4 juta per bulan.
Rincian pendapatan pengemudi ojek online per bulan tahun ini sebagai berikut:
Pendapatan pengemudi ojek online per bulan tersebut melorot dibandingkan 2014. Datanya sebagai berikut:
Survei tersebut dilakukan selama 13 – 20 September secara online atau setelah pemerintah menaikkan harga BBM atau bahan bakar minyak bersubsidi jenis pertalite dan solar. Pengemudi ojek online yang disurvei berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Sebanyak 81% dari mereka merupakan laki-laki. Selain itu, 40,63% berusia 20 – 30 tahun.
“Pendapatan ojek online rata-rata sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji aplikator pada 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan,” kata dia.
“Sulit rasanya menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand,” tambah dia.
Namun Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan, sektor taksi dan ojek online sangat diperlukan. Oleh karena itu, ia optimistis layanan ini akan selalu ada.
Maraknya demonstrasi oleh ojek online menurutnya merupakan hal biasa. “Demo atau kendala-kendala yang terjadi menurut saya lebih ke masalah penanganan yang perlu dikoreksi dari berbagai pihak,” kata Edward kepada Katadata.co.id, pada Oktober (11/10).
“Tetapi ujungnya akan selalu tetap ada,” tambah dia. “(Demo) pernah terjadi di Amerika Serikat, bahkan bukan hanya dari driver tetapi juga regulator yang komplain.”
Edward mengatakan bahwa sektor taksi dan ojek online yang sudah terbukti memiliki dampak besar dan luas. “Ide bisnisnya menarik,” katanya.
“Ini memudahkan konsumen. Jadi seharusnya akan terus ada,” tambah dia. “Dan kita sebagai konsumen sebetulnya dimanjakan.”
Dia memahami bahwa bisnis Gojek, Grab hingga Maxim dipengaruh juga oleh aturan seperti tarif ojol dan kenaikan harga BBM alias bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya ini bagian dari bisnis yang berfluktuasi.
Namun, “suatu saat pasti akan balance (seimbang) kembali,” kata Edward.
“Memang ada satu sisi mau enggak mau harus menaikkan tarif,” katanya. “Kedua pihak baik penyelenggara maupun driver pasti akan berkurang pendapatannya.”