Penyebab Harga Barang di E-Commerce dan Social Commerce Murah

Lenny Septiani
25 September 2023, 14:38
Bukalapak, Lazada, TikTok, Tokopedia, Shopee, e-commerce,
Katadata/Desy Setyowati
Bukalapak, Lazada, TikTok, Tokopedia, Shopee

2. Official store atau produsen langsung menjual ke konsumen, sehingga harga hampir setara dengan biaya produksi

3. Barang impor diduga kuat sebagian mendapatkan subsidi di negara asal

4. Biaya produksi impor lebih murah karena faktor kapasitas produksi, biaya logistik hingga suku bunga yang rendah di negara asal

“Kalau pusat grosir di Tanah Abang sepi, sedangkan di platform online ramai maka diduga kuat barang yang ada di platform digital, khususnya pakaian jadi yakni barang impor,” kata Bhima.

Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, beberapa penjual yang berdagang secara live streaming di Shopee mengatakan bahwa produk yang mereka jual merupakan barang impor. Produk yang diimpor mulai dari pakaian jadi, peralatan rumah tangga hingga mainan anak.

Katadata.co.id juga mendapati penjual melakukan live streaming ketika kontainer berisi barang yang akan dijual baru sampai.

Namun pada deskripsi produk, penjual tidak menjelaskan bahwa produk tersebut merupakan barang impor.

Di Instagram, pengguna internet juga dapat menemukan beberapa akun yang memberikan informasi mengenai cara mengimpor barang untuk dijual kembali.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pun menyoroti harga barang yang jauh lebih murah di e-commerce dan social commerce. Ia menilai UMKM Indonesia tak didukung rantai pasok yang mumpuni dan berbasis teknologi.

Padahal seingatnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah lama mengingatkan kementerian dan swasta untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) guna menggenjot produksi.

“Tidak ada yang mewujudkan bagaimana teknologi digital diaplikasikan ke sistem produksi nasional, industri manufaktur, pertanian, agro maritim, kesehatan dan lainnya,” ujar Teten kepada Katadata.co.id, Sabtu (16/9).

Alhasil, produksi nasional kalah dibandingkan produk impor yang lebih murah karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.

“Akibatnya transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonomi tidak bertambah, tapi faktor pembaginya semakin banyak,” Teten menambahkan.

Ia mencontohkan pasar offline seperti Tanah Abang. Pedagang di pasar ini ikut berjualan online, tetapi tetap kalah dengan produk impor. “Hampir 80% penjual di platform online menjual produk impor, terutama dari Cina,” ujar dia.

Terlebih lagi, perekonomian Cina sedang melemah. Ia menduga produksi barang konsumsi yang kelebihan pasokan di Tiongkok, mulai dijual ke ASEAN.

“Indonesia pasarnya besar dan hampir separuh populasi masuk ke e-commerce,” kata Teten. Belum lagi, tarif bea masuk dinilai terlalu murah.

“Babak belur kita,” Teten menambahkan. “Jangankan UMKM, produk industri manufaktur pun tidak bisa bersaing, terutama produk garmen, kosmetik, sepatu olahraga, farmasi dan lainnya.”

Halaman:
Reporter: Lenny Septiani, Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...