Omnibus Law Fokus Pekerja Asing, Google Cetak 12 Ribu Ahli Digital RI

Fahmi Ahmad Burhan
3 November 2020, 14:10
Omnibus Law Fokus Pekerja Asing, Google Cetak 12 Ribu Ahli Digital RI
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, pameran startup teknologi dan inovasi industri anak negeri di Hall B JCC, Jakarta, pada Kamis (3/10/2019).

Dalam salinan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berisi 1.187 halaman yang diterima oleh Katadata.co.id, ada beberapa perubahan aturan UU Ketenagakerjaan. Salah satunya Pasal 42 ayat 1, menjadi berbunyi, “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan dari pemerintah pusat."

Sebelumnya, perusahaan harus memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kemudian pada ayat 3 disebutkan, pemerintah menambahkan pihak yang bebas dari persyaratan sebagaimana tercantum di ayat 1. Sebelumnya, ini hanya berlaku bagi perwakilan negara asing yang menggunakan pekerja dari luar negeri sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

Pada UU Omnibus Law, privilese itu berlaku juga untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu. Selain itu, bagi pemegang saham dan tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

Pada awal tahun, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan bahwa pemerintah tetap akan mengatur perihal transfer teknologi dari pekerja asing di dalam UU Omnibus Law. "Untuk jabatan-jabatan tertentu yang memang kita tidak memiliki ahlinya diharapkan ada transfer pengetahuan,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Februari lalu (17/2). 

Namun, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan, mengatasi defisit talenta digital seharusnya dengan menyesuaikan kurikulum perguruan tinggi. Bukan dengan mempermudah izin tenaga kerja asing.

Apalagi, ia mencatat ada 50 ribu hingga 70 ribu lulusan IT per tahun di Indonesia. "Kalau permasalahannya skill missmatch, ini tugas perguruan tinggi dan pemerintah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri. Jalan pintas dengan memudahkan pekerja asing masuk tanpa rencana penggunaan dan izin, justru blunder bagi serapan tenaga kerja lokal di startup,” ujar Bima kepada Katadata.co.id, Oktober lalu (15/10).

Hal senada disampaikan oleh Co-Founder Markoding Amanda Simandjuntak. Ia menilai bahwa defisit talenta digital terjadi karena kurikulum pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan industri.

Ia mengatakan, pelajaran terkait teknologi informatika (IT) di Tanah Air tertinggal dibandingkan negara lain. Ia mencontohkan, beberapa sekolah masih berfokus mempelajari Microsoft Office.

Bahasa pemrograman pun masih memakai Pascal. "Ini tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini,” Amanda dalam acara M-Class: Meraih Sukses di Era Digital dengan Belajar Coding, Oktober lalu (16/10).

Oleh karena itu, ia mencatat hanya 56% lulusan IT yang diserap oleh perusahaan. "Ada kesenjangan kemampuan," kata dia.

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...