Investor Ungkap Alasan Startup Marak PHK, Salah Satunya Perang Rusia
Startup di banyak negara melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK, termasuk di Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya yakni perang Rusia dan Ukraina.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro menyampaikan, likuiditas di sektor startup berkurang. Alhasil, investor semakin selektif dalam menyuntikkan dana ke perusahaan rintisan.
“Investor sudah selektif. Tidak lagi akan menyetujui ‘bakar uang’ yang tidak ada habisnya. Oleh sebab itu, startup harus pintar mengolah dana, jadi mereka melakukan efisiensi,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu (28/5).
“Efisiensi tidak hanya PHK. Bisa mengurangi biaya pemasaran atau menunda peluncuran produk baru. Kami sebagai investor apresiasi kalau mereka memutuskan PHK, karena harus survive. Mereka harus begitu ketimbang tutup,” tambah dia.
Sedangkan pengetatan likuiditas terjadi karena beberapa faktor, yakni:
- Kebijakan moneter bank sentral di banyak negara
- Perang Rusia dan Ukraina yang berpengaruh terhadap suplai
“Menurut saya tidak ada hubungannya dengan pandemi corona. Investasi di startup kan untuk lima sampai 10 tahun. Masa, investasi tidak jalan hanya karena pandemi Covid-19,” kata dia.
Dia memperkirakan, pengetatan likuiditas itu terjadi dalam satu sampai dua tahun. “Saya tidak tahu juga. Ini perkiraan saja,” ujar dia.
Hal senada disampaikan oleh Managing Partner East Ventures Roderick Purwana. Menurutnya, perusahaan teknologi di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) yang marak PHK terjadi karena sejumlah pemicu, seperti:
- Ekspektasi investor kepada perusahaan teknologi berkurang setelah pandemi Covid-19
- Tingginya inflasi dunia yang membuat bank sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga
- Kekhawatiran geopolitik, seperti perang Rusia dan Ukraina
"Ini akan memberi dampak ke dunia, dimana investor lari ke aset yang lebih aman," kata Roderick, dua minggu lalu (17/5).
Khusus di Indonesia, menurutnya relatif lebih terjaga. Sebab, ekonomi Indonesia secara makro cenderung stabil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi kuartal I mencapai 5,01% secara tahunan.
Meski begitu, startup Indonesia tetap terkena imbasnya. "Ada perubahan pola pendanaan dan valuasi," katanya.
Menurutnya, investor akan mencari startup Indonesia yang dianggap berkualitas. Sedangkan, dari sisi valuasi akan ada penyesuaian.
Alibaba Group Holding misalnya, memberhentikan sekitar 40% staf di perusahaan patungannya di Rusia, AliExpress Russia. “Hal ini karena krisis Ukraina mengganggu bisnis lintas-batas,” demikian dikutip dari Economic Times, dua pekan lalu (14/5).
AliExpress Russia yang berdiri pada 2019 mengoperasikan transaksi domestik dan lintas-batas.
Perusahaan bergantung pada penjualan lintas-batas untuk lebih dari tiga perempat bisnisnya.
CEO Snap Evan Spiegel pun mengatakan, perusahaan tertekan inflasi dan dampak perang Rusia - Ukraina. Selain itu, terpengaruh oleh perubahan kebijakan privasi iOS tahun lalu.
Dalam memo kepada karyawan, Spiegel menyebutkan bahwa laju perekrutan akan melambat. Perusahaan juga melakukan PHK.
Spiegel menambahkan, Snap akan mengisi kembali posisi jika karyawan saat ini pergi, selama peran tersebut menjadi prioritas tinggi.
Sedangkan Chief People Officer Tiket.com Dudi Arisandi menilai, startup bertujuan untuk untung. “Dari sisi Human Resources (HR), pada akhirnya yang paling mudah, barangkali untuk diselesaikan, ya orang. Maka, upaya pertama yang bisa dilakukan ya efisiensi dengan pengurangan orang,” ujarnya dalam acara Talk 2 Talk, Minggu (29/5).
Dia mencatat, startup di Indonesia yang melakukan PHK rerata yang diuntungkan dari pandemi corona. Sejak awal tahun, setidaknya ada empat perusahaan rintisan yang mengumumkan PHK yakni Tanihub, Zenius, LinkAja, dan JD.ID.
“Mereka sebelumnya merekrut, karena kebutuhannya banyak saat itu (awal pandemi corona). Ketika ternyata pandemi berhasil ditangani, yang terjadi adalah surplus orang,” ujar dia.
Menurutnya, kondisi saat ini mirip dengan gelembung dot com pada 1998 - 2000-an. Saat itu, sektor teknologi tren dan perusahaan merekrut banyak pekerja. Mereka melantai di bursa efek dan mencatatkan harga saham yang meroket.
Perusahaan dot-com saat itu banyak menjalankan model startup yang bereksperimen dengan cara-cara baru dalam berbisnis. Namun, mereka tidak punya arah bisnis yang jelas dan tidak stabil.
Kemudian, gelembung dot-com meledak dan harga saham perusahaan internet itu runtuh. Bahkan banyak di antaranya yang gulung tikar.
“Saya pernah mengalami, di satu perusahaan, pegawai di sektor IT dikurangi dan dipekerjakan di outsource. Kemudian muncul dot com,” ujar dia. “Secara pribadi, aku sudah tiga kali menghadapi kasus seperti sekarang ini.”