Grab, Gojek, Maxim Respons Usulan DPR soal Ojol Jadi Transportasi Umum
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan aplikator ojek online (ojol) menjadi perusahaan transportasi. Namun Grab, Gojek, dan Maxim menyatakan bahwa model bisnisnya berbeda dengan transportasi umum.
President Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan bahwa transportasi online memiliki prinsip, model bisnis, dan beragam aspek yang berbeda dengan transportasi umum konvensional.
“Untuk memajukan dan memastikan keberlangsungan industri transportasi online yang menaungi jutaan mitra, butuh pendekatan khusus yang tepat sasaran dan sesuai keseluruhan aspek di ekosistem transportasi online,” kata Ridzki kepada Katadata.co.id, Senin (14/11).
Ridzki menyampaikan, mitra pengemudi merupakan salah satu pemangku kepentingan utama dalam ekosistem industri berbagi tumpangan (ride-hailing). “Kami menyediakan aplikasi yang dapat diakses secara fleksibel dan daat disesuaikan oleh kebutuhan para mitra pengemudi,” ujarnya.
Perusahaan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara permintaan pasar dan jumlah mitra pengemudi guna menjaga kesinambungan pendapatan. Ia menegaskan bahwa Grab berfokus menawarkan peluang penghasilan berkelanjutan.
Sedangkan Development Manager Maxim Indonesia Imam Mutamad Azhar menilai, usulan DPR tersebut ‘lari’ dari pemahaman bahwa taksi dan ojek online bukan menjadi penghasilan utama.
Selain itu, menurutnya perusahaan bisa bangkrut jika harus membayar gaji pengemudi taksi atau ojek online. “Kami perusahaan aplikasi atau perusahaan taksi,” ujar Imam kepada Katadata.co.id, Senin (14/11).
“Apakah DPR memahami bisnis prosesnya? Bagaimana kami sebagai aplikator itu bekerja, sementara izin usaha dikeluarkan oleh Kominfo sebagai perusahaan IT,” tambah dia.
Sebagai perusahaan aplikasi, maka pengemudi taksi dan ojek online menjadi mitra. “Yang menjadi pengusahanya itu pengemudi. Kami hanya memfasilitasi,” kata Imam.
Selain itu, pajak kendaraan hitam seperti skema kemitraan saat ini lebih tinggi dibandingkan pelat kuning atau transportasi umum.
Ia berharap DPR membuat undang-undang dengan mempertimbangkan banyak hal secara menyeluruh dan bersifat jangka panjang. “Bagaimana secara bisnis bertumbuh dan manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat,” katanya.
Sedangkan Chief of Public Policy and Government Relations GoTo Shinto Nugroho menyatakan, perusahaan selalu mengikuti dan mematuhi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
“Kami juga selalu berkomunikasi dan berdiskusi dengan pemerintah baik dalam proses pembahasan kebijakan ataupun dalam mematuhi peraturan yang berlaku,” kata Shinto kepada Katadata.co.id, Senin (14/11).
Ia memahami bahwa UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah mengatur alat transportasi umum. Sedangkan Gojek beroperasi di bawah regulasi:
- Permenhub Nomor 12 tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat
- Keputusan Menhub Nomor KP 667 tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi
Sebelumnya, Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama menyatakan bahwa ojek online sebagai kendaraan roda dua adalah ilegal. Sebab, tidak termasuk dalam kategori kendaraan umum.
“Kendaraan roda dua bukan kendaraan angkutan umum sehingga tidak punya payung hukum,” kata Suryadi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi V DPR RI, Senin (7/11).
Walaupun aplikasi ojek online legal. Namun, pelaksanaannya dinilai ilegal karena menggunakan angkutan roda dua sebagai kendaraan umum.
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Golkar Hamka Baco Kady turut membandingkan perusahaan taksi dan ojek online dengan BlueBird. Ia menilai bahwa BlueBird merupakan contoh transportasi yang benar.
“Dia online dan offline,” kata Hamka.
Pimpinan Sidang atau Wakil Ketua Komisi V DPR RI Fraksi Partai Golongan Karya Ridwan Bae juga mempertanyakan pendapat para aplikator ojek online soal wacana menjadi perusahaan transportasi.