JETP Dinilai Tak Adil, Lebih Besar Utang Dibandingkan Dana Hibah
Oleh sebab itu, dia mengatakan, pihaknya bersama organisasi lainnya meminta kepada pemerintah untuk bisa mengakses pendanaan JETP itu kepada para komunitas untuk memenuhi pendanaannya dalam memperluas pembangunan pembangkit listrik EBT.
“Harapannya setidak-tidaknya itu 20% dananya dalam bentuk hibah bisa diakses oleh konunitas. Maka ini bisa menjawab elektrifikasi di tingkat komunitas,” ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, mengakui jika dana hibah JETP sangat kecil. Dadan mengatakan pendanaan JETP nantinya memang lebih banyak akan diberikan dalam bentuk pinjaman komersial. Ini termasuk pendanaan swasta yang diinisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$10 miliar.
Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. “Kemudian ada yang pinjaman, tapi commercial loan yang bunganya lebih menarik," kata dia di Jakarta, Selasa (21/8).
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.
Sebelumnya Afrika Selatan telah diumumkan sebagai penerima pertama program ini. Negara tersebut menerima pendanaan awal sebesar US$ 8,5 miliar melalui berbagai mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, investasi, dan instrumen berbagi risiko.