Proyek Sampah Jadi Listrik dalam Sorotan KPK
Sampah menjadi persoalan serius di Indonesia. Negara ini merupakan penghasil sampah plastik terbanyak di dunia setelah Tiongkok. Pemerintah berusaha meminimalkan masalah ini, salah satunya melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa.
Pengembangan pembangkit itu telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Sesuai Perpres Nomor 56 Tahun 2018, PLTSa pun masuk daftar proyek strategis nasional alias PSN. Pemerintah akan menambah proyek itu dari delapan kota menjadi 12 kota.
Ke-12 kota adalah DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan adanya pemborosan uang negara dari proyek tersebut.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebut nilai infesiensi proyek itu mencapai Rp 3,6 triliun. Hal ini terjadi karena program PLTSa dibebankan ke pemerintah daerah. Skema take or pay untuk membeli listrik dari pihak swasta cukup memberatkan PLN.
Pahala menyebut salah satu kepala daerah sempat keberatan dengan proyek pembangkit itu. Pasalnya, setiap satu ton sampah yang disetor ke swasta, pemerintah daerah merogoh kocek sekitar Rp 310 ribu. Sementara jumlah yang dihasilkan mencapai 1.400 ton per hari. “Kalikan saja itu, sepanjang 25 tahun tidak dapat apa-apa lagi,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (23/11).
PLN pun wajib membayar listrik yang berasal dari PLTSa. Padahal, belum tentu tegangannya sesuai ketentuan. “Lagi-lagi proyek ini hanya menguntungkan swasta,” ujar Pahala.
Dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016, PLN disebut menjadi pembeli listrik PLTSa dengan harga US$ 18 sen per kilowatt hour (kWh). Tapi pembangunan pembangkitnya tidak terealisasi.
Pemerintah kemudian merevisi aturan itu melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018. Sebanyak 12 kota ditunjuk untuk percepatan pembangunannya. Tarif pembelian listriknya turun menjadi US$ 13,35 sen per kilowatt hour. Sampai akhir 2019, PLN tidak melakukan realisasi pembelian listrik tersebut.
Pahala berpendapat koordinasi pemerintah sangat buruk dalam merealisasikan proyek PLTSa. Kementerian teknis harus bergerak cepat mencari solusi. Pasalnya, pemerintah daerah terus membayar sampah yang dikumpulkan sekalipun tidak sesuai kuota.
Biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah atau tipping fee dapat memberatkan anggaran daerah (APBD). KPK menyarankan pemerintah dapat mengganti program tersebut agar dapat lebih efisien. "Surat kami mengatakan, sudah enggak usah sampah jadi listrik. Sampah jadi energi saja," kata dia.
Caranya, sampah-sampah itu diolah menjadi pellet refuse derived fuel atau RDF. Bahan bakar ini kemudian dapat mengganti batu bara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Kebutuhan batu bara PLN sekarang mencapai 110 juta ton per tahun.
Dengan mencampur bahan bakar ke PLTU alias co-firing setidaknya 3% hingga 5%, PLN mampu membayar sekitar Rp 500 ribu per ton. "Kalau ikut mekanisme proyek PLTSa, pemda membayar Rp 310 ribu. Kalau pakai mekanisme co-firing, pemda dibayar Rp 510 ribu per ton pelet," kata Pahala.
Berdasarkan kajian itu, KPK menyarankan metode waste to energy dibandingkan waste to electricity untuk mengatasi isu sampah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan PLN sudah melakukan penelitian pengolahan sampah substitusi bahan bakar PLTU. Namun, pelaksanaanya belum maksimal.
Pada skema co-firing maksimal 5% dari volume batubara, pemda mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir. Lalu, sampah diolah menjadi RDF atau solid recovered fuel (SDF). Hasil pengolahannya kemudian dijual ke pabrik semen atau PLTU dengan harga di bawah batu bara.
Dengan skema ini, beban anggaran pemda tidak sebesar tipping fee karena biaya pengolahan dikurangi dengan hasil penjualan RDF. PLN juga tidak perlu membeli listrik mahal dari PLTSa, jadi tidak membebani keuangan perusahaan.
Saat dikonfirmasi mengenai progress kelanjutan proyek PLTSa, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana belum memberikan respon. Hingga berita ini tayang, yang bersangkutan masih belum membalas pesan Katadata.co.id.
Proyek PLTSa Dinilai Tak Signifikan Dongkrak Bauran Energi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, total kapatas pembangkit PLTSa di 12 kota sesuai dengan Perpres 35/2018 hanya 234 megawatt (MW). Hal ini tak akan signifikan mendongkrak target bauran energi terbarukan (EBT) di Indonesia.
Solusi penanganan sampah dengan PLTSa, menurut dia, kurang efektif dan berbiaya tinggi. Terlalu banyak subsidi dari pemerintah pusat dan daerah, padahal kapasitas fiskal daerah terbatas.
Penanganan sampah yang utama adalah melaksanakan 3R, yaitu mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). "Dan pengelolaannya dilakukan mulai dari rumah dan diolah secara komunal," ujarnya.
Saat ini sudah mulai pembuatan pelet dari sampah untuk co-firing pembangkit. Dari hasil uji coba tersebut ternyata hasilnya lebih efisien ketimbang bangun PLTSa yang mahal.
Kalau dirunut balik, gagasan mengolah sampah kota jadi energi itu sudah ada sejak akhir 2000-an. Namun, kerja sama Pemprov DKI dan swasta di TPA Bantargebang, Bekasi akhirnya tidak berhasil. Demikian juga di TPA Suwung, Bali. Yang lumayan sukses di TPA Benowo, Jawa Timur yang menghasilkan 12 megawatt.
Pemerintah harus memiliki rencana dan strategi pengelolaan sampah kota lebih berkelanjutan dan efektif. Perpres yang mengatur proyek PLTSa di 12 kota pun sebaiknya direvisi kembali. "Menurut saya, pemerintah perlu merespon atau menanggapi penilaian dan pertimbangan KPK," ujarnya.
Proyek PLTSa Dapat Dimulai Dengan Skala Kecil Terlebih Dahulu
Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai PLTSa jangan hanya dilihat sebagai sumber energi listrik atau gas tapi bonus. Inti dari itu semua adalah bagaimana mengelola sampah secara tepat.
Sampah yang menjadi energi berupa pelet dan mempunyai nilai kalori setara batu bara biayanya akan mahal. Namun, anggaranya dapat dikurangi biaya pengelolaan sampah. "Jadi, menurut saya, sebaiknya PLTSa tetap diteruskan," ujarnya.
Pembangunannya dapat dilakukan dalam skala kecil dulu. Pengumpulannya tidak perlu terpusat, asalkan manajemen transportasinya tepat. PLTSa ini dapat dimanfaatkan untuk menerangi jalan dan sekitarnya. “Skala kecil tapi ada di berbagai tempat sehingga menyelesaikan masalah sampah kota atau wilayah,” kata Iwa.
Pemanfaatan sampah menjadi PLTSa merupakan bagian dari porsi bioenergi yang masuk dalam rencana umum energi nasional alias RUEN. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma kebijakan ini tercantum dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017.
Porsi energi tersebut mencapai lebih 3 gigawatt. Karena itu, keberhasilan pemanfaatan sampah untuk energi dapat mendorong target bauran energi nasional.
Masalahnya sekarang ada perbedaan cara pandang antara pemda dan pengembang dalam pemanfaatan sampah untuk energi ini. Pemda merasa tidak bertanggung terhadap keberlangsung bahan bakunya. Padahal, jika tidak dimanfaatkan untuk energi, sampah itu dapat mencemari lingkungan. "Dan tentu saja berdampak negative ke kotanya," ujar Surya.
Sebagai informasi, komposisi sampah terbesar di Indonesia adalah organik, terutama dari makanan. Porsinya mencapai 60%. Di bawahnya adalah plastik, sebesar 14%.
Kesadaran masyarakat a untuk mendaur ulang sampah tergolong rendah. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut hanya 1,2% rumah tangga yang mendaur ulang sampahnya.
Sekitar 66,8% rumah tangga menangani sampah dengan cara dibakar. Padahal, asap yang ditimbulkan dari hasil pembakaran bisa menimbulkan polusi udara dan mengganggu kesehatan.