Proyek Baterai Listrik di Indonesia Menanti Mitra Asing

Image title
17 Februari 2021, 18:16
baterai listrik, mobil listrik, tesla, catl, lg chem, pertamina, pln, mind id, inalum, antam
123RF.com/Hannu Viitanen
Ilustrasi. Ada tujuh calon investor asing potensial yang tertarik menggarap bisnis baterai Indonesia.

Untuk menarik investasi asing seharusnya pemerintah tak sebatas membanggakan soal sumber daya alam Indonesia, seperti nikel dan tembaga. Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan perlu pula target pasar yang tepat.

Seperti di India. Tesla telah lebih dulu berinvestasi di negara itu pada tahun. Daya tariknya bukan penerapan ESG. Perusahaan justru melihat potensi pasarnya yang sangat besar. “Kelas menengahnya merupakan konsumen prospektif untuk Tesla,” ucapnya. 

Di luar hal itu, dari sisi fiskal India pun lebih menarik. Kota Bengaluru, yang menjadi lokasi investasi Tesla, merupakan kota industri besar. Banyak industri otomotif besar lahir dari sana sehingga sesuai untuk mengembangkan riset dan pengembangan (R&D) ke depan.  

Jadi, selain good mining practice terus diperbaiki, pemetaan keinginan investor harus dilihat dengan tajam. Artinya, pemerintah perlu lebih dinamis untuk melihat dan menghitung bagaimana negara lain menarik investor.

KETENTUAN UANG MUKA UNTUK KENDARAAN BERMOTOR RAMAH LINGKUNGAN
Ilustrasi mobil listrik. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.)

Pengembangan Bisnis Baterai Pertamina

Pembentukan holding baterai listrik atau Indonesia Battery Corporation (IBC) ditargetkan rampung pada paruh pertama 2021. Nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 17 miliar (sekitar Rp 239 triliun). Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebut perusahaan induk itu akan menggarap pengembangan baterai kendaraan listrik dari hulu hingga hilir.

Konsorsium tersebut nantinya membentuk perusahaan patungan dengan mitra potensial asing dari berbagai negara di dunia. VP Downstream Research & Technology Innovation Pertamina  Andianto Hidayat mengatakan pihaknya bersama PLN, Inalum, dan Antam telah berkolaborasi mengembangkan industri baterai sesuai penugasan pemerintah. 

Kolaborasi tersebut juga bertujuan memanfaatkan cadangan nikel yang dimiliki di Indonesia. Pertamina saat ini tengah melakukan penelitian mengenai pengembangan sel bahan bakar atau fuel cell. Misalnya, material katoda, anoda, solid state battery, dan proton-exchange membrane fuel cells (PMEFC) serta solid oxide fuel cell.

Pertamina juga akan mengembangkan battery pack yang dapat digunakan untuk battery energy storage system (BESS) kendaraan bermotor dan rumah tangga. Prototype BESS pertama berkapasitas 172 kilowatt hour (kWh) dioperasikan di Kantor Pertamina Pulogadung, Jakarta.

Pengembangan BESS diarahkan dapat memfasilitasi ekosistem jaringan listrik pintar mikro (smart micro-grid) di Indonesia. "Kami akan mengembangkan multi purpose battery pack untuk kendaraan bermotor dan rumah tangga yang belum teraliri listrik," ucapnya dalam NRE and Energy Storage: The Future of Pertamina - Webinar DRTI Pertamina Seri 2, pagi tadi.

Perusahaan pelat merah ini juga tengah mengembangkan swapping sation dan battery management system (BMS) bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian. BMS merupakan elemen penting pada sistem baterai agar pemanfaatanya aman, andal, dan efisien.

Manfaat BMS juga dapat digunakan untuk memeriksa kegagalan yang terjadi dan bermanfaat untuk memperpanjang waktu hidup baterai. Sementara, swapping station kegunaanya untuk mempermudah konsumen motor listrik mengisi kendaraannya dengan cepat. 

CLIMATE-CHANGE/ACCORD-BRITAIN
Ilustrasi mobil listrik. (ANTARA FOTO/REUTERS/Antonio Bronic)

Pemain Utama Bisnis Baterai Global

Laporan BloombergNEF pada September lalu menyebut Tiongkok mendominasi rantai pasokan baterai lithium ion dunia. Permintaan baterai domestiknya pada tahun lalu mencapai 72 gigawatt hour (GWh) dan menguasai 80% pabrik pemurnian (smelter) dunia, 77% kapasitas baterai sel, dan 60% manufakturnya.

Posisi itu jauh melampaui produsen baterai dari Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara ini masing-masing menduduki peringkat dua dan tiga. Meskipun posisinya tiga besar, keduanya tidak memiliki pengaruh besar seperti Tiongkok karena tidak menguasai proses pemurnian dan penambangan bahan mentah. 

Namun, kekurangan dalam menguasai rantai pasokan itu terkompensasi dengan skor lingkungannya yang lebih tinggi daripada Tiongkok. “Pabrikan Tiongkok, seperti CATL, telah berkembang pesat menjadi yang terdepan di dunia dalam waktu kurang dari to tahun,” kata Kepala Penyimpanan Energi BloombergNEF James Frith. 

CATL merupakan produsen utama baterai dunia saat ini. Perusahaan memiliki pabrik di Asia hingga Eropa. Bersama dengan LG Chem, keduanya menyumbang hampir setengah dari 192,9 gigawatt hour (GWh) kendaraan listrik dunia yang dijual pada tahun lalu.

Pada 2023, CATL berencana melipatgandakan kapasitas yang dimilikinya mencapai 263 gigawatt hour. Sementara LG akan mencapai 100 gigawatt hour di 2025.  Proyeksi kapasitasnya pada 2028 terlihat pada grafik Databoks berikut. 

Eropa dan Amerika Serikat sedang berlomba masuk dalam industri ini tapi akan sulit mengejar Tiongkok. Kepala Logam dan Pertambangan BloombergNEF Sophie Lu mengatakan perhatian utama negara penghasil bahan mentah adalah memanfaatkan sumber daya alam menjadi nilai tambah dan menarik investasi hilir. 

Faktor pembedanya adalah jejak lingkungan, ketersediaan listrik yang murah dan bersih, tenaga kerja terampil, dan insentif untuk mendorong permintaan baterai. “Faktor-faktor ini mungkin lebih penting daripada monopoli pada satu logam kritis tertentu,” katanya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...