Menguji Keampuhan Perdagangan Karbon di Pembangkit Listrik Tenaga Uap
- Kementerian ESDM mulai melakukan uji coba perdagangan karbon di 80 PLTU.
- Perdagangan karbon menjadi salah satu cara untuk mengimbangi penggunaan batu bara dengan energi terbarukan.
- Penetapan harga terlalu rendah dan cap yang longgar berpotensi membuat penurunan emisi karbon menjadi sangat kecil.
Usaha untuk menekan emisi karbon dioksida sedang pemerintah lakukan. Salah satunya melalui uji coba perdagangan karbon di 80 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Rinciannya, 19 unit pembangkit berkapasitas lebih dari 400 megawatt (MW). Lalu, 51 unit PLTU kapasitasnya 100 megawatt sampai 400 megawatt. Terakhir, 10 unit PLTU mulut tambang dengan daya 100 sampai 400 megawatt.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kebijakan itu akan membuat energi terbarukan lebih kompetitif. “Harga listrik dari PLTU jadi merefleksikan eksternalitas yang sebenarnya,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (19/3).
Hitungan pasti pengurangan emisi dari uji coba 80 unit pembangkit tersebut belum dapat ia pastikan. Mekanisme perdagangan karbonnya belum jelas, demikian pula harganya. “Setahu saya masih disiapkan peraturan presidennya (Perpres),” ujar Fabby.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut uji coba pasar karbon hanya dilaksanakan di sub-sektor ketenagalistrikan. Penerapannya memakai tiga skema, yaitu cap, trade, dan offset.
Fabby mengatakan, cap and trade artinya sektor yang dikenakan kewajiban menurunkan emisi harus mencapai batasan yang ditetapkan pemerintah. Jika bisa di bawah cap, maka selisih itu dianggap sebagai surplus dan dapat dijual (trade) ke sektor lain yang terkena kewajiban menurunkan emisi.
Untuk sektor lain yang terkena kewajiban itu harus melakukan offset (pengurangan emisi) sesuai ketentuan. Caranya dengan melakukan aksi mitigasi atau dapat pula membeli kuota emisi dari industri yang surplus.
Dengan perdagangan karbon tersebut, PLTU dapat secara tidak langsung memenuhi batas emisi dan menurunkan gas rumah kaca. Pemilik pembangkit, baik PLN maupun produsen listrik swasta (IPP), juga mendapat manfaat ekonominya.
Namun, Fabby menyebut, untuk mencapai target Perjanjian Paris 2015, pemakaian PLTU harus dikurangi drastis dan akhirnya phase out (dihapus secara bertahap). “Jadi, saya melihat kebijakan baru ini sebagai strategi buying time (mengulur waktu),” ujarnya.
Indonesia menargetkan akan mengurangi emisi karbonnya sebesar 29% pada 2030 dengan usaha sendiri. Targetnya naik menjadi 41% dengan asumsi mendapat bantuan internasional.
Sektor energi berperan besar dalam menyumbang emisi di negara ini. Ketergantungan pada energi fosil masih sangat besar. Hal tersebut terlihat dari pemakaian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau PLTU yang masih dominan.
Databoks di bawah ini menunjukkan kapasitas daya berdasarkan jenis pembangkitnya hingga semester pertama 2020.
Mekanisme Perdagangan Karbon di Beberapa Negara
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengatakan ada berbagai upaya untuk menurunkan target penurunan emisi gas rumah kaca. Misalnya, investasi pada infrastruktur, perdagangan emisi, dan penerapan pajak karbon.
Yang paling banyak digunakan saat ini di tingkat global adalah pajak karbon. Kawasan Eropa dominan menerapkan strategi tersebut.
Untuk Asia, negara Singapura telah menerapkan pajak karbon sebesar SIN$ 5 per ton emisi karbon dioksida atau sekitar Rp 53 ribu. Pajak tersebut berlaku untuk perusahaan yang masih menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atas batas yang ditetapkan.
“Setiap perusahaan mengeluarkan emisi sebesar 25 ribu ton karbon dioksida (CO2), kelebihannya wajib membayar lima dolar per ton CO2," kata Paul dalam Bimasena Energy Dialogue 4 "Transformasi Bisnis Sektor Batubara Dalam Rangka Mendukung Transformasi Energi Indonesia”.
Di Eropa, setiap perusahaan atau fasilitas yang emisinya melebihi batas yang sudah ditetapkan pemerintah, maka terkena denda hingga 100 euro per ton karbon dioksida atau Rp 1,7 juta per ton.
Denda ini pun kebanyakan dihindari oleh berbagai perusahaan. Sistem ini mau-tak mau mendorong pelaku usaha untuk menurunkan emisi karbonnya dan melakukan perdagangan karbon.
Paul mengatakan perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi dapat membeli dari perusahaan lain. “Bayangkan jika harus membayar denda 100 euro per ton CO2. Untuk menghindarinya, lebih baik dia membeli di pasar,” ujarnya.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam berpendapat uji coba perdagangan emisi karbon adalah bagian dari perwujudan komitmen indonesia untuk membatasi kenaikan suhu global.
Dengan perdagangan karbon ini masing-masing PLTU didorong untuk menurunkan emisi CO2 hingga di bawah batas yang ditetapkan. Mereka yang mampu menurunkan emisi bisa menjual sertifikat penurunan kepada PLTU yang masih memiliki emisi di atas batas.
"Jadi ini bukan perdagangan biasa yang orientasinya semata ekonomi. Ini adalah upaya untuk menekan emisi karbon," ujarnya.
Perdagangan karbon juga menjadi salah satu sarana untuk mengimbangi penggunaan batu bara dengan energi terbarukan. Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan selama ini Indonesia tidak mempunyai mekanisme carbon trading.
Apabila program tersebut jadi diluncukran, maka akan banyak kesempatan bagi energi terbarukan untuk dikembangkan. "Itu sudah lumayan. Apalagi kalau nanti diberlakukan mekanisme standar portofolio energi terbarukan," ujarnya.
Surya kurang setuju dengan pandangan perdagangan karbon dapat memberikan celah bagi perusahaan ekstraktif untuk tidak serius menurunkan emisi GRK. Pasalnya, sektor ekstraktif juga membutuhkan energi terbarukan. “Jika tidak ada (energi terbarukan), bagaimana karbonnya dijual. Ini harus seimbang,” kata Surya.
Mekanisme Perdagangan Karbon Dianggap Solusi Semu
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator, Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menilai mekanisme perdagangan karbon merupakan solusi semu dengan taktik tambal sulam yang tidak jelas. Awalnya, pemerintah berencana melakukan co-firing (mencampur bahan bakar pembangkit) di PLTU, sekarang masuk ke perdagangan karbon.
Pemerintah, menurut Tata, lupa kebijakan utama yang harus dilakukan saat ini adalah transisi energi yang ambisius dari PLTU ke energi bersih. Ada tiga langkah utamanya, yaitu moratorium pembangkit batu bara, implementasi disiplin transisi energi, dan phase out PLTU yang tua.
Ada 2 persoalan dari perdagangan karbon. Pertama, penetapan harga. Kalau terlalu murah, maka kebijakan ini hanya akan menjadi pembenaran operasional PLTU. Insentif dan disinsentif untuk mengurangi karbon akan jauh dari cukup dan hanya menjadi justifikasi pembangkit itu.
Kedua, cap atau batas emisi karbon. Kalau sangat rendah, yang seharusnya mengeluarkan biaya untuk membeli emisi, malah menjual karbonnya.
Penetapan harga terlalu rendah dan cap yang longgar hanya membuat penurunan emisi menjadi sangat kecil. "Sistem pasar tidak akan bekerja sesuai dengan yang diharapkan untuk mengurangi emisi dari PLTU batu bara," kata Tata.
Kebijakan ini, ia berpendapat, mengarah ke solusi yang keliru. Kondisinya akan berbeda kalau mekanisme pasar karbonnya diatur untuk membuat PLTU tidak kompetitif. Carannya, dengan memasukkan seluruh biaya eksternalitasinya, termasuk dampak negatifnya terhadap kesehatan dan lingkungan.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana optimistis perdagangan karbon dapat menurunkan gas rumah kaca. “Khususnya di sektor energi karena mitigasi di pembangkit listrik,” ujarnya kemarin.
Ia mengatakan 80 pembangkit yang ikut uji coba tersebut terdiri dari 54 unit pembangkit milik PLN. Sisanya, milik produsen listrik swasta atau IPP.
Pemerintah tengah menyusun regulasi perdagangan karbon. "Saat ini sudah dalam tahap final proses untuk terbitnya peraturan presiden tentang penyelenggaraan ekonomi karbon untuk pencapaian target emisi," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.