Menilik Perlakuan Perpajakan untuk Profesi Atlet
Olahragawan, atau biasa dikenal sebagai atlet, merupakan seseorang yang bisa dikatakan mahir dalam kegiatan olahraga, atau dalam bentuk lainnya yang berkaitan dengan pelatihan fisik.
Seorang olahragawan atau atlet biasanya ikut serta dalam suatu perlombaan atau pertandingan, yang mewakili suatu klub, daerah atau negaranya. Definisi resmi terkait olahragawan atau atlet, termaktub dalam Pasal 1 Ayat (6) dan (7) Undang-undang (UU) Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Dalam beleid tersebut, atlet diartikan sebagai seseorang yang gemar berolahraga dalam rangka mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosialnya, dengan mengikuti pelatihan secara teratur, dan turut mengikuti kegiatan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk dapat mencapai prestasi.
Meski ada kata "gemar" dalam definisi atlet, namun pada praktiknya atlet sejak dulu bukanlah seseorang yang hanya suka melakukan kegiatan olahraga. Melainkan, menjadikan kegiatan olahraga tersebut sebagai profesi yang ditekuni. Misalnya, seorang atlet sepak bola atau bulu tangkis.
Seperti layaknya semua masyarakat Indonesia yang telah memiliki penghasilan, seorang atlet juga merupakan wajib pajak. Artinya, atlet membayar dan melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima.
Perlakuan Perpajakan Profesi Atlet
Di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk profesi atlet mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Berdasarkan Perdirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 olahragawan atau atlet merupakan penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Hal ini tertera dalam Pasal 3 Perdirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016.
Artinya, atlet yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kejuaraan, maka atlet tersebut wajib melaksanakan kewajiban perpajakan, yakni membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perlakuan perpajakan untuk atlet sendiri dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yakni apabila atlet melakukan pekerjaan bebas, apabila atlet bergabung dalam sebuah klub, dan perlakuan pajak atas sebuah penghargaan yang diterima.
1. Atlet Melakukan Pekerjaan Bebas
Jika seorang atlet tidak terikat pada klub, dalam cabang olahraga apapun, maka dapat dikatakan pula bahwa penghasilan yang diperoleh oleh olahragawan atau atlet tersebut berasal dari pekerjaan bebas karena tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Meski demikian, atlet yang melakukan pekerjaan bebas tidak diperbolehkan menghitung PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018. Meski penghasilan bruto yang diperoleh atlet tersebut tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.
Namun, atlet yang dimaksud diperbolehkan untuk menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), dan cukup untuk menyelenggarakan pencatatan. Untuk menggunakan mekanisme ini, atlet harus mengajukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Misalnya, seorang atlet memiliki penghasilan bruto sebesar Rp 150 juta dalam satu tahun, dan tinggal di Jakarta. Maka, tarif yang digunakan adalah 50%.
Sehingga, perhitungan penghasilan kena pajak atlet tersebut adalah mengalikan penghasilan bruto dengan tarif yang berlaku, lalu dikurangi dengan besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni totalnya sebesar Rp 21 juta.
Dari besaran penghasilan kena pajak sebesar Rp 21 juta tersebut, maka tarif yang dikenakan adalah sebesar 5% berdasarkan tarif yang tertera dalam Pasal 17 UU PPh. Sehingga, besaran PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar Rp 1.050.000.
2. Atlet Bergabung dalam Klub
Jika seorang atlet tidak terikat dalam suatu klub, maka ia bisa dikategorikan menjalankan pekerjaan bebas. Namun, jika seorang atlet tersebut bergabung dalam suatu klub, misalnya untuk atlet sepak bola, perlakuan pajaknya mengikuti aturan PPh Pasal 21 pada umumnya.
Hal ini dikarenakan pekerjaan atlet tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian kerja (kontrak) dalam waktu tertentu. Umumnya, kontrak dalam dunia olahraga adalah satu tahun, meski banyak atlet yang dikontrak untuk bermain dalam sebuah klub lebih dari satu tahun.
Mengacu pada aturan yang tertera dalam UU PPh yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), maka tarif PPh yang dikenakan adalah sesuai yang tertera dalam Pasal 17 UU PPh.
Berdasarkan Pasal 17 UU PPh, besaran tarif pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
- 5% bagi penghasilan 0-Rp 50.000.00 per tahun
- 15% bagi penghasilan Rp 50.000.000 sampai Rp 250.000.000 per tahun
- 25% bagi penghasilan Rp 250.000.000 sampai Rp 500.000.000 per tahun
- 30% bagi penghasilan Rp 500.000.000 sampai Rp 5.000.000.000 per tahun
- 35% bagi penghasilan lebih dari Rp 5.000.000.000 per tahun
3. Pajak Penghasilan atas Penghargaan yang Diterima
Mengacu pada UU 3/2005 atau UU Sistem Keolahragaan Nasional, dijabarkan bahwa setiap pelaku, organisasi olahraga, lembaga pemerintah atau swasta, ataupun seseorang yang berprestasi atau berjasa dalam memajukan olaharga akan diberikan sebuah penghargaan
Penghargaan yang dimaksud, diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, organisasi olahraga, organisasi lain, ataupun perseorangan Penghargaan dapat berupa pemberian kemudahan, asuransi, beasiswa, dan pekerjaan.
Selain itu, penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan. Kemudian, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau dalam bentuk penghargaan lainnya yang memberikan manfaat bagi pihak yang menerima penghargaan.
Apabila ditinjau berdasarkan Perdirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, terdapat beberapa penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan pajak. Salah satunya adalah penerimaan dalam bentuk natura, atau kenikmatan yang berbentuk apapun dan diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah.
Pajak penghasilan dari penerimanaan natura atau kenikmatan ini, akan ditanggung oleh pemberi kerja termasuk akan ditanggung oleh pemerintah.
Bengan aturan tersebut, dapat dikatakan bahwa penghargaan yang diterima oleh seorang atlet dapat digolongkan ke dalam penghasilan, atau penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bonus atau penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kepada atlet dalam bentuk apapun, meski masuk kategori objek pajak.
Namun, dikarenakan penghargaan yang diterima tersebut diberikan oleh pemerintah, maka pemotongan pajak atas penghargaan tersebut akan ditanggung oleh pemerintah. Artinya, bonus atau penghargaan tersebut dapat dikecualikan dari pemotongan pajak.