Menilik Perlakuan Perpajakan untuk Reseller dan Dropship
Istilah reseller dan dropship sudah tidak asing dalam bisnis daring atau online. Dua jenis usaha ini menjadi salah satu cara yang populer untuk menjual produk secara online.
Adanya dropship dan reseller ini membantu produsen atau supplier menjual lebih banyak barang. Selain itu, keberadaan dua jenis usaha ini juga membantu produk terjual di pangsa pasar lebih luas. Konsumen mudah untuk mendapatkan produk karena dijual di pasaran.
Nah, apa itu reseller dan dropship, serta seperti apa perlakuan perpajakan pada dua bidang usaha ini? Berikut penjelasannya.
Pengertian Reseller dan Dropship
Mengutip dari ukmindonesia.id, reseller berasal dari bahasa Inggris. Kata 're' yang artinya 'kembali' dan 'sell' artinya menjual, sementara 'er' artinya pelaku. Jadi, reseller adalah orang yang membeli produk dari berbagai pihak, yang kemudian dijual kembali untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan.
Reseller termasuk kata tak asing dalam bisnis daring dewasa ini. Kata reseller sering diartikan sebagai orang yang menjual kembali produk. Barang tersebut dijual dengan harga lebih tinggi sehingga memberikan menguntungkan.
Patut diingat, reseller bukan menjadi bagian dari supplier atau produsen. Sebab, sistem kerja reseller adalah membeli barang dan membuat stok di tempatnya sendiri, baru kemudian menjualnya kepada konsumen. Tugas pengiriman barang ke konsumen juga dilakukan oleh pihak reseller, bukan supplier.
Sementara, dropship adalah teknik pemasaran dimana penjual tidak menyimpan barang. Sistem dropship ini dilakukan ketika penjual mendapatkan pesanan, kemudian meneruskan detail pesanan pada produsen atau supplier. Orang yang menjalankan kegiatan ini disebut dropshipper.
Sistem dropship berbeda dengan reseller yang perlu menyimpan barang. Cara kerja dropship juga berbeda dengan reseller, yang harus membeli produk terlebih dahulu dengan harga murah. Sementara, dropship hanya meneruskan pemesanan ke supplier. Pengiriman barang ke konsumen dilakukan oleh supplier.
Dua bidang usaha ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika ingin menjadi reseller, diperlukan modal yang cukup besar untuk membeli barang dari supplier agar dapat membuat stok. Keuntungannya, supplier akan memberikan diskon atau harga spesial, karena pembelian dilakukan dalam jumlah besar. Reseller juga dapat melihat kualitas produk secara langsung, sehingga bisa mengelola penjualan secara langsung.
Sementara, menjalankan usaha dropship memang tidak membutuhkan modal besar. Sebab, dropshipper hanya perlu mempromosikan dan menjual barang supplier, tanpa perlu melakukan penyetokan barang. Namun, dropshipper tidak dapat melihat kualitas barang yang akan dikirimkan ke konsumen. Sehingga, jika ada kesalahan dalam pesanan, konsumen akan mengira jika pelayanan dropshipper yang kurang baik.
Perlakuan Perpajakan untuk Reseller dan Dropship
Sebagai bagian dari dunia usaha, reseller dan dropship pun tidak luput dari aturan perpajakan. Mengutip www.online-pajak.com, berikut ini beberapa jenis pajak yang berkaitan dengan pelaku usaha reseller dan dropship.
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Kewajiban pemungutan, pelaporan dan penyetoran PPN dikenakan apabila reseller atau dropship telah ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Kriteria reseller atau dropshipper yang dikukuhkan sebagai PKP adalah, memiliki omzet mencapai lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Jika sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka reseller wajib membayar serta memungut PPN atas setiap transaksinya, saat membeli barang dari produsen maupun ketika menjualnya ke konsumen.
Ketika membeli barang dari produsen, reseller akan menerima faktur pajak dan wajib membayar PPN atas transaksi yang dilakukan. Faktur pajak ini kemudian akan dilaporkan oleh pihak produsen. Selanjutnya, faktur pajak atas transaksi tersebut dapat dilampirkan dan menjadi pengurang saat reseller menjual barangnya ke konsumen.
Sebagai contoh, misalnya PT ABC merupakan reseller dari PT DEF melakukan pembelian satu unit barang senilai Rp 5 juta. Atas transaksi ini, PT ABC dikenakan pungutan PPN sesuai tarif yang berlaku, yakni 11%. Sehingga, harus membayar kepada PT DEF sebesar Rp 5,55 juta.
Ketika PT ABC menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga Rp 6 juta, maka PT ABC harus memungut PPN sebesar 11% dari harga. Ini membuat konsumen harus membayar sebesar Rp 6,66 juta.
Saat PT ABC membayar dan melaporkan PPN, perusahaan dapat melampirkan faktur pajak yang diterbitkan PT DEF, yang menyatakan bahwa pihaknya telah membayar pajak sebesar Rp 550 ribu. PPN tersebut dapat menjadi pengurang untuk pembayaran pajak atas penjualannya ke konsumen.
Maka, PPN terutang yang harus disetorkan PT ABC kepada pemerintah adalah sebesar Rp 110.000. Jumlah ini berasal dari pengurangan PPN barang yang dijual ke konsumen sebesar Rp 660.000, dengan PPN yang dibayarkan PT ABC ke PT DEF sebesar Rp 550.000.
2. Pajak Penghasilan (PPh)
Reseller dan dropshipper juga dikenakan aturan perpajakan terkait PPh. Tarif PPh yang dibebankan kepada reseller dan dropship ini mengikuti status badan usahanya, apakah perorangan atau sudah berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Jika usaha telah berbentuk PT, maka tarif PPh yang dikenakan adalah 20% dari penghasilan kena pajak. Jumlah tarif ini sudah mengalami penurunan sejak 2020. Sebelumnya, tarif PPh wajib pajak badan ditetapkan sebesar 25% dari penghasilan kena pajak.
Sementara, jika reseller atau dropshipper berbentuk usaha perorangan, maka ketentuan PPh yang dikenakan adalah PPh Final dengan besaran tarif 0,5% setiap bulannya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Namun, jika omzet reseller atau dropshipper baru mencapai Rp 500 juta atau di bawahnya, tidak akan dikenakan PPh Final. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2a) UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Misalnya, jika suatu reseller yang dikelola perorangan pada Januari hingga Mei 2022 memiliki omzet kumulatif sebesar Rp 500 juta. Maka atas omzet tersebut tidak dikenakan PPh.
Reseller dikenakan PPh Final setelah omzet kumulatif yang diperoleh melebihi Rp 500 juta, yaitu pada Juni hingga Desember 2022. Omzet tersebut akan dikenakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet setiap bulannya.
Maka, total PPh Final yang dibayarkan oleh reseller selama 2022 semenjak diberlakukannya UU HPP adalah sebesar Rp 3,5 juta. Jumlah ini didapatkan dari omzet selama Juni-Desember yang sebesar Rp 700 juta dikalikan tarif PPh Final sebesar 0,5%.
Patut diingat, kemudahan berupa PPh Final tidak akan selamanya berlaku. Sebab, masa berlakunya untuk wajib pajak perorangan hanya tujuh tahun dari diterbitkannya PP Nomor 23 tahun 2018. Artinya, pada 2025 PPh yang berlaku kembali pada tarif yang berlaku sesuai Pasal 17 Ayat (1a) UU HPP.
Berdasarkan ketentuan tersebut, besaran tarif atas penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut;
- Sampai dengan Rp 60 juta per tahun dikenakan tarif 5%
- Di atas Rp 60 juta-Rp2 50 juta per tahun dikenakan tarif 15%
- Di atas Rp 250 juta-Rp500 juta dikenakan tarif 25%
- Di atas Rp 500 juta-Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif 30%
- Di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif 35%
Selain pajak atas transaksi, perlakuan perpajakan lainnya juga diberlakukan jika ada kegiatan terkait operasional. Misalnya, sebuah reseller memiliki karyawan dan menyewa gedung untuk melakukan aktivitas. Maka, reseller tersebut wajib membayar PPh 21 atas gaji karyawan dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penyewaan gedung.