Menilik Upaya Indonesia Menghapus Warisan Keuangan Era Kolonial
Pasca-proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Republik Indonesia yang baru berdiri belum memiliki struktur pemerintahan yang solid. Apalagi organisasi keuangan negara. Kabinet Presidensial baru dibentuk pada 19 Agustus 1945, yang beranggotakan 13 menteri, 5 menteri negara, dan 4 pejabat setingkat menteri.
Karena baru saja merdeka, sistem sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia, termasuk untuk Kementerian Keuangan. Dalam hal ini, Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang, menjadi patokan awal organisasi Kementerian Keuangan, yang saat itu masih bernama Departemen Keuangan.
Saat kabinet dibentuk, yang ditunjuk untuk menjabat sebagai Menteri Keuangan adalah, Dr. Samsi Sastrawidagda. Namun, beliau hanya menjabat selama dua minggu, dan mundur karena alasan kesehatan. Posisi Menteri Keuangan akhirnya diemban oleh Alexander Andries Maramis, atau A.A. Maramis, yang sebelumnya ditunjuk sebagai Wakil Menteri Keuangan.
Sebagai Menteri Keuangan, A.A. Maramis memutuskan untuk mengadopsi sistem Departemen Keuangan pemerintah pendudukan Jepang. Namun, ia melakukan beberapa perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat.
Adopsi sistem Gunseikanbu Zaimubu tak berlangsung lama. Pada 29 September 1945, A.A. Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan pejabat pemerintahan tentara Jepang.
Hak-hak yang dipreteli ini mencakup seluruh urusan menerbitkan, dan menandatangani surat-surat perintah membayar, pengaturan pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak tersebut dilimpahkan kepada Pembantu Bendahara Negara, yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan.
Pembentukan Organisasi Kementerian Keuangan
Langkah berikutnya adalah, membentuk organisasi Kementerian Keuangan, agar pengelolaan keuangan negara menjadi teratur. Untuk penyusunan awalnya, Menteri Keuangan A.A. Maramis membentuk lima pejabatan (setara eselon I), yakni Pejabatan Umum, Pejabatan Keuangan, Pejabatan Pajak, Resi Candu dan Garam, serta Pejabatan Pegadaian.
Pada waktu menyusun organisasi, ia mensyaratkan Kementerian Keuangan harus dipimpin oleh para pejabat yang mempunyai loyalitas yang tinggi kepada bangsa, negara dan proklamasi kemerdekaan. Terbukti, organisasi Kementerian Keuangan awal-awal tergolong kokoh menghadapi badai revolusi, dan tetap mampu melaksanakan tugasnya di tengah perang revolusi kemerdekaan 1945-1949.
Pada 1948, organisasi Kementerian Keuangan semakin solid dan tergolong lengkap menurut ukuran negara yang baru merdeka. Saat itu, A.A Maramis membagi mengubah nomenklatur pejabatan menjadi Jawatan. Pada masa itu, struktur organisasi Kementerian Keuangan (saat itu bernama Departemen Keuangan) adalah sebagai berikut:
1. Kantor Pusat Departemen Keuangan, di mana Sekretaris Jenderal termasuk didalamnya.
2. Thesauri Negara, yang merupakan gabungan dari Pejabatan Keuangan dan Pejabatan Urusan Utang, Kredit, dan Bank serta diberi tugas melaksanakan fungsi anggaran dan perbendaharaan, yang meliputi:
- Inspeksi Anggaran.
- Bagian Anggaran Negara.
- Bagian Statistik Keuangan.
- Bagian Moneter.
- Jawatan Akuntansi Negara.
- Jawatan Perbendaharaan dan Kas.
- Biro Pengawasan Kas.
- Biro Normalisasi.
- Jawatan Perjalanan.
3. Jawatan Pajak
4. Jawatan Bea Cukai
5. Jawatan Pajak dan Bumi
6. Jawatan Resi dan Candu
7. Jawatan Pegadaian
8. Jawatan Perjalanan.
Penerbitan Oeang Republik Indonesia
Setelah struktur organisasi Kementerian Keuangan terbentuk pada 1945, pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri memutuskan untuk menerbitkan mata uang sendiri.
Saat itu, mata uang yang beredar di Indonesia ada dua, yakni uang bentukan pemerintahan pendudukan Jepang, yakni Dai Nippon Teikoku Seihu, atau kerap disebut rupiah Jepang dan uang peninggalan Hindia Belanda, yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank.
Kelahiran uang milik Republik Indonesia sendiri tergolong cepat, karena didorong oleh kedatangan Belanda yang hendak kembali menjajah. Kedatangan Belanda tidak hanya membawa kekuatan militer saja, melainkan juga moneter, dengan dikeluarkannya mata uang milik Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau uang NICA.
Pada 30 September 1945 diputuskan, peredaran uang NICA ini dilakukan pertama kali di luar Jawa. Kurs penukaran saat itu diputuskan, 1 uang rupiah Jepang bernilai sama dengan 3 sen uang NICA.
Peredaran uang NICA ini cukup mulus di awal-awal Belanda masuk Indonesia. Pasalnya, Belanda langsung memperoleh akses kantor-kantor bank Jepang pada 10 Oktober 1945. Bank-bank tersebut kemudian ditutup, dan Belanda menghidupkan kembali De Javasche Bank yang bertugas sebagai bank sirkulasi. Pada 6 Maret 1946, Belanda resmi mengedarkan dan menetapkan uang NICA sebagai alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan.
Menyingkapi peredaran uang NICA yang kian meluas, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pada 15 Maret 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat, yang menyatakan bahwa masyarakat yang kedapatan memegang uang NICA akan mendapatkan hukuman berat. Alhasil, memegang uang NICA saat itu menjadi momok bagi masyarakat.
Kemudian, saat Bank Negara Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946, pemerintah memutuskan untuk menarik peredaran beberapa uang, yakni uang De Javasche Bank, uang rupiah Jepang dan uang NICA. Saat itu, penduduk hanya diperbolehkan memegang maksimal 50 sen rupiah Jepang. Penarikan peredaran uang ini diikuti oleh upaya pemerintah Indonesia mempersiapkan mata uang sendiri. Upaya ini menghasilkan Oeang Republik Indonesia (ORI).
ORI dikeluarkan oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui Surat Keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946. ORI secara resmi berlaku pada 30 Oktober 1946 sebagai mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Kehadiran ORI memiliki arti yang sangat penting bagi perjuangan Republik Indonesia yang baru saja berdiri. Sebab, memiliki mata uang sendiri merupakan simbol kedaulatan suatu bangsa.
Kehadiran ORI juga menjadi 'Instrument of Revolution'. Karena kehadirannya menunjukkan pemerintah Republik Indonesia mampu mengatur administrasi, mengorganisir, dan memperkuat tentara, serta memelihara keamanan, ketertiban dan mengurus kesejahteraan rakyat dalam berperang melawan Belanda.
Pembentukan Bank Sentral
Tak hanya memiliki organisasi Kementerian Keuangan yang solid, pemerintah juga mempersiapkan pendirian bank sirkulasi, untuk mendukung kedaulatan Indonesia di sektor ekonomi.
Pada 19 September 1945, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945, sebagai landasan yuridis persiapan pendirian bank sirkulasi pertama, yakni Bank Negara Indonesia (BNI).
Mengutip buku "Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953", tidak semua pihak setuju pendirian BNI menjadi jalan terbaik untuk mengawali jalan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank, dan memfungsikannya sebagai bank sirkulasi.
De Javasche Bank sebelumnya merupakan bank sirkulasi di era pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang beroperasi sejak 1823 hingga dilikuidasi oleh pemerintah pendudukan Jepang. Peran bank sirkulasi kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko.
Meski ada suara penolakan, pemerintah tetap menjalankan rencana pendirian BNI sebagai bank sirkulasi. Langkah ini didahului dengan pendirian Poesat Bank Indonesia (PBI), yang bertugas mempersiapkan pembentukan BNI. Selain itu, PBI juga menjalankan kebijakan selayaknya bank sirkulasi.
Tak hanya itu, PBI juga berperan memberikan kredit dengan bunga rendah, dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi.
Keberadaan PBI sebagai perintis bank sirkulasi di Indonesia ini cukup berhasil. Mengutip buku "Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958)", kepercayaan masyarakat terhadap PBI tergolong besar. Hal ini terbukti dari terkumpulnya tabungan dari masyarakat sebesar Rp 31 juta (uang Jepang).
Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1946 tertanggal 5 Juli 1946, berdirilah BNI sebagai bank sirkulasi dan bank sentral. BNI diresmikan oleh Mohammad Hatta di Yogyakarta. Pendirian BNI ini diikuti dengan peleburan PBI ke dalamnya.
Di masa revolusi kemerdekaan 1945-1949, operasional BNI menemui banyak hambatan. Pasalnya, bank baru ini harus menjalankan tugas sebagai bank sirkulasi sekaligus bank umum. BNI juga harus mengurus cabang PBI yang tersebar di Jakarta, Solo, Malang, dan Kediri.
Upaya ini diperparah dengan semakin gencarnya serangan militer Belanda yang kian menyudutkan posisi Republik Indonesia. Akibat gelombang serangan militer dari Belanda, urusan ekonomi pun terkena imbasnya. Dalam hal ini, kinerja BNI semakin keteteran. Ini terlihat dari peredaran ORI yang terhambat, karena BNI tak mampu menjangkau beberapa kawasan, terutama di wilayah pendudukan Belanda.
Aksi militer Belanda yang semakin menjadi-jadi, membuat BNI akhirnya mengambil kebijakan desentralisasi sistem keuangan. Ini terlihat dalam bentuk diizinkannya pemerintah daerah mengeluarkan mata uang sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Posisi BNI semakin tersudut dengan adanya Agresi Militer II yang dilakukan Belanda, yang berhasil merebut Yogyakarta. Jatuhnya ibu kota negara ini, membuat kantor besar BNI tutup. Satu-satunya cabang BNI yang masih berfungsi ada di Kutaraja, Aceh.
Melalui cabang tersebut, ORI edisi terbaru dikeluarkan pada 17 Agustus 1948. ORI baru ini diterbitkan dengan tanda tangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Peran BNI sebagai bank sirkulasi dan bank sentral akhirnya harus berakhir melalui keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang dilangsungkan di Den Haag, Belanda, pada 1949.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Salah satu hasil kesepakatan yang dicapai melalui KMB adalah, penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi sekaligus bank sentral. Alasan utama mengapa Belanda menginginkan posisi bank sentral dipertahankan oleh De Javasche Bank adalah, karena adanya kesepakatan bahwa hutang Hindia Belanda diturunkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sri Margana dkk dalam "Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953" menyebut, penunjukan KMB ini merupakan bukti bahwa BNI belum siap mengemban tugas sebagai bank sentral. Penyebabnya adalah, tenaga terdidik dalam tubuh BNI saat itu masih sangat terbatas.
Kondisi De Javasche Bank justru berkebalikan dibandingkan BNI. Bank peninggalan Hindia Belanda ini, dianggap memiliki kemampuan yang lebih profesional.
Ketidaksiapan BNI sebagai bank sentral, juga ditunjukkan dengan kebijakannya yang mengizinkan pencetakan ORIDA. Hal ini menunjukkan, bahwa BNI tidak pernah memiliki kontrol utuh atas arah moneter Indonesia.
BNI sendiri kemudian menjadi bank umum melalui UU Darurat Nomor 2 tahun 1955. Namanya berubah menjadi Bank Negara Indonesia 1946 setelah dikeluarkan UU Nomor 17 Tahun 1968. Penambahan 1946 menegaskan eksistensi historis bank perjuangan ini.
Pasca-KMB, tugas-tugas yang sebelumnya diemban BNI pun dilimpahkan kepada De Javasche Bank. Namun, saat itu pimpinan-pimpinan De Javasche Bank masih dipegang oleh orang Belanda. Baru pada 15 Juli 1951 pemerintah mengangkat Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Direktur.
Meski demikian, De Javasche Bank tidak pernah sepenuhnya berhasil sebagai bank sentral Indonesia. Penyebabnya, kepemilikan pemerintah atas De Javasche Bank tidak mutlak, hanya sebagian saja.
Selain itu, De Javasche Bank lebih erat hubungannya dengan Belanda, ketimbang Indonesia. Ini ditunjukkan dengan pasar uang De Javasche Bank yang berada di Belanda. Alhasil, sebagian besar hasil pembagian untung sampai kelebihan likuiditas tabungan, ditransfer ke Belanda. Hal tersebut, mengakibatkan De Javasche Bank tidak bisa mewujudkan dirinya sebagai lenders of last resort, apalagi banker’s bank.
Hal ini akhirnya mendorong upaya nasionalisasi De Javasche Bank. Pemikiran ini muncul, karena ada keinginan dari para pemimpin Republik Indonesia, untuk mengubah warisan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Salah satu caranya dengan menasionalisasi De Javasche Bank.
Niat tersebut diumumkan Menteri Keuangan Jusuf Wibisono pada akhir April 1951. Keputusan pemerintah tersebut, kemudian disampaikan Perdana Menteri Sukiman kepada Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR). Segera setelah itu, pada 3 Juli 1951 dibentuklah Komisi Nasionalisasi Bank Jawa.
Mengutip "Media Keuangan Edisi Oktober 2020", komisi ini memiliki wewenang mengambil segala langkah persiapan yang diperlukan ke arah nasionalisasi, dan merancang aturan perundang-undangannya. Atas nasihat komisi tersebut, pemerintah kemudian memutuskan melakukan nasionalisasi dengan membeli saham dari para pemegang saham dan sertifikat De Javasche Bank.
Kemudian, melalui UU Nomor 11 tahun 1953 atau UU Pokok Bank Indonesia, De Javasche Bank diganti dengan lembaga baru yang bernama Bank Indonesia (BI), yang untuk selanjutnya bertindak sebagai bank sentral. Sesuai tanggal berlakunya, 1 Juli kemudian diperingati sebagai hari kelahiran BI.
Setelah BI terbentuk, dan resmi bertugas sebagai bank sentral, Sjafruddin Prawiranegara selaku Gubernur BI yang pertama, menyelenggarakan kursus-kursus dan praktik kerja (job training) di kantor pusat BI dan di luar negeri. BI juga menyelenggarakan kursus pengawasan dan pemeriksaan bank lewat program "bank examination course".
Kebijakan ini diambil, karena pada awal terbentuknya BI, keberadaan tenaga ahli dan kader-kader dalam jajaran pegawai BI masih terbatas. Dari segi kepegawaian misalnya, tidak ada satupun orang Indonesia yang menduduki delapan jabatan direktur muda. Begitu pula dari 32 pejabat di kantor pusat, hanya empat pejabat yang merupakan orang Indonesia.
Setelah BI berdiri, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, yang diterbitkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan, dan BI. Pemerintah menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp 5. Sementaram BI menerbitkan uang kertas pecahan Rp 5 ke atas.
Namun, sesuai UU Nomor 13 tahun 1968, demi keseragaman dan efisiensi, BI diberikan hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam. Saat ini, uang rupiah memuat tanda tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, dan BI berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.