Menilik Sejarah Pengaturan PPh Final di Indonesia
Keempat, penambahan jenis objek PPh final baru pada Pasal 26. Kelima, pengaturan PPh final atas revaluasi aset yang diatur dalam Pasal 19.
Keenam, ketentuan PPh final dalam Pasal 21 atas honorarium yang diterima pejabat negara, pegawai negeri sipili (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Ketujuh, pengenaan PPh final Pasal 22 atas penjualan jenis produk tertentu yang diatur dalam keputusan menteri keuangan.
4. UU No. 17 tahun 2000
Pasca-reformasi, pemerintah melakukan perubahan ketiga atas UU PPh, dengan mengeluarkan UU Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU Pajak Penghasilan. Dalam UU ini, muatan materi Pasal 4 Ayat (2) memang tidak berubah.
Namun, ada perubahan pada aturan turunan Pasal 4 Ayat (2) tersebut. Dalam aturan turunan tersebut, terdapat penambahan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.
5. UU No. 38 tahun 2008
Periode kelima pengaturan PPh final ditandai dengan perubahan keempat atas UU PPh, melalui penerbitan UU Nomor 38 tahun 2008. Dalam UU ini, terdapat lima poin perubahan ketentuan PPh final.
Pertama, perluasan jenis penghasilan yang dikenakan PPh final dalam Pasal 4 Ayat (2). Kedua, objek PPh final Pasal 23 berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi, diubah menjadi objek Pasal 4 Ayat (2).
Ketiga, perluasan objek PPh Pasal 26 yang bersifat final, yakni berupa keuntungan atas transaksi pembebasan utang dan penjualan atau pengalihan saham di Indonesia. Keempat, terdapat pasal baru, yaitu Pasal 17 Ayat (2c), yang mengatur mengenai pemajakan atas dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi.
Kelima, terdapat Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai PPh final terhadap pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Aturan yang dimaksud, adalah PP Nomor 46 Tahun 2013, seperti telah diubah terakhir dengan PP Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
6. UU No. 11 tahun 2020
Memasuki dekade kedua abad ke-21, aturan terkait PPh final kembali mengalami perubahan. Ini ditandai dengan keluarnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam UU 11/2020, dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi, atau badan dalam negeri, dikecualikan dari objek PPh, dengan syarat tertentu. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf f klaster UU PPh dalam UU 11/2020.
Kemudian, terdapat ketentuan baru dalam Pasal 26 Ayat (1b), yang menegaskan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN berupa bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang dikenakan tarif 20% dari penghasilan bruto.
Ketentuan ini sebenarnya telah berlaku pada periode sebelumnya, tetapi belum dicantumkan secara eksplisit dalam UU PPh.
7. UU No. 7 tahun 2021
Setahun setelah keluarnya UU Cipta Kerja, pemerintah memutuskan melakukan perubahan terhadap peraturan perpajakan. Hal ini diwujudkan melalui keluarnya UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Dalam UU HPP, ada penambahan jenis objek PPh final. Tambahan objek pajak ini terdapat pada Pasal 4 Ayat (2) huruf a UU 7/2021, berupa bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang.
Ada pula perubahan Pasal 4 Ayat (2) huruf e UU 7/2021. Sebelumnya, pada pasal tersebut hanya mencantumkan bahwa penghasilan tertentu lainnya dapat dikenakan pajak yang bersifat final.
Namun, hal tersebut diubah pada Pasal 4 Ayat (2) huruf e UU 7/2021, dengan diaturnya penghasilan tertentu lainnya. Ini termasuk penghasilan dari usaha yang diterima, atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Atas penghasilan yang diterima ini, dikenakan PPh yang bersifat final.