Sejarah Ketua Umum Partai Golkar, Sempat Diwarnai Dualisme Pemimpin
Kepemimpinan tentara di dalam Partai Golkar berlangsung hingga 1993, ketika terjadi pergantian pemimpin ke Harmoko dari Letnan Jenderal TNI Wahono. Harmoko dengan demikian menjadi ketua umum pertama tanpa latar belakang militer.
Harmoko memimpin Partai Golkar pada Oktober 1993 sampai Juli 1998. Pria kelahiran Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, ini mengawali kariernya sebagai wartawan sebelum akhirnya mengemban jabatan publik dan partai politik.
Kepemimpinan Harmoko berlangsung hingga keruntuhan pemerintahan Presiden Soeharto, yang terjadi pada Mei 1998. Pria kelahiran 1939 itu juga menyaksikan pergantian rezim dari kursi pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sejak Harmoko, pemimpin Partai Golkar cenderung berasal dari politisi dan pengusaha. Jusuf Kalla (JK), misalnya, merupakan pemimpin periode 2004-2009 yang membangun kariernya sebagai pebisnis dengan usaha keluarga Grup Kalla.
Dualisme Kepemimpinan
Antara 2014 dan 2016, Partai Golkar terbelah ke dalam dua kubu dengan pemimpin yang berbeda, yaitu Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono. Masing-masing mengeklaim takhta ketua umum lewat musyawarah nasional yang berbeda. Abu Rizal memperoleh mandat dari musyawarah di Bali dan Agung dari musyawarah di Ibu Kota.
Perpecahan ini berkaitan dengan perselisihan terkait posisi Partai Golkar terhadap pemerintah. Kubu yang dipimpin oleh Abu Rizal mengambil posisi yang menentang pemerintah dan kubu yang dipimpin Agung mengambil posisi sebaliknya.
Dualisme kepemimpinan ini berakhir pada 2016 menyusul rekonsiliasi yang dipimpin oleh eks ketua umum dan Wakil Presiden JK. Rekonsiliasi ini bermuara ke musyawarah nasional yang memberikan mandat ketua umum ke Setya Novanto.