Kebijakan 3 in 1: Disetop di era Ahok, Kini untuk Kurangi Polusi Udara
Fenomena Joki Three in One
Kewajiban minimal jumlah penumpang untuk masuk ke KPP kemudian menimbulkan ladang cuan baru bagi masyarakat: joki. Orang-orang akan berdiri di pinggir jalan, menawarkan jasa pada pengendara mobil yang akan masuk KPP sehingga mencapai jumlah penumpang minimum. Nantinya mereka menerima bayaran dari pemilik kendaraan itu.
Fenomena ini sempat menjadi perhatian karena tidak hanya orang dewasa yang melakoni profesi joki. Tak jarang ditemui anak-anak serta ibu yang menggendong anak kecil berdiri di pinggir jalan.
Dalam laporan Harian Kompas, Suku Dinas Sosial DKI Jakarta kerap melakukan razia untuk membina para joki ini, sebab kebijakan three in one menjadi tidak efektif. Di sisi lain, anak pun menjadi korban karena bisa terpisah dengan orangtuanya setelah diturunkan dari mobil penumpang.
Diganti Menjadi Ganjil Genap
Meski diterapkan cukup lama, aturan three in one dianggap tidak efektif mengurai kemacetan. Akhirnya pada 16 Mei 2016), saat kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kebijakan three in one dihapuskan.
Penghapusan ini tidak dilakukan tiba-tiba, sudah melalui dua kali uji coba dari 5 sampai 13 April 2016 dan diperpanjang hingga 14 Mei 2016. Menurut Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta kala itu, Andri Yansyah, penghapusan three in one meningkatkan kemacetan hingga 24,35% pada saat uji coba.
Waktu tempuh juga lebih lama, dari 3,5 menit per kilometer menjadi 6 hingga 7 menit per kilometer. “Namun di beberapa ruas jalan, terutama bukan di jalan protokol, terjadi kelonggaran,” kata Andri, dilansir dari Kompas.com.
Untuk menggantikan three in one, Pemprov DKI Jakarta kemudian menerapkan kebijakan ganjil-genap. Menurut catatan BeritaSatu, kebijakan ganjil genap sudah digagas sejak 2013 tapi tidak kunjung diterapkan karena pemerintah ingin menerapkan electronic road pricing alias ERP.