Penerimaan Pajak 2018 Tumbuh 15%, Pengelolaan APBN Dinilai Kredibel

Rizky Alika
31 Desember 2018, 17:39
Pajak
Arief Kamaludin|KATADATA

(Baca juga: Dirjen Pajak Optimistis Penerimaan Pajak Capai 95% dari Target 2018)

CITA menyorot pula soal fasilitas perangsang bahwa insentif pajak tak harus bertentangan dengan target penerimaan khususnya dalam situasi ekonomi yang tidak menentu sehingga butuh stimulus. Perluasan insentif baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diiringi mekanisme pemantauan dan evaluasi agar tepat sasaran.

Prastowo menjelaskan bahwa sektor minyak dan gas bumi (migas) relatif tertinggal lantaran minim investasi baru, stagnan, dan kurang atraktif sedangkan skema insentif terbatas. (Baca juga: SKK Migas Mulai Terapkan Audit Bersama Perpajakan dan Bagi Hasil)

Kinerja sepanjang tahun ini merupakan perwujudan reformasi di bidang perpajakan yang dicanangkan kembali pada Desember 2016. Pada awal tahun lalu, misi ini didahului beberapa program besar. Beberapa kebijakan besar bahkan dinilai berdampak positif terhadap kinerja Ditjen Bea Cukai.

Pada sisi lain, CITA juga memberi beberapa catatan khusus, yakni terkait proses revisi Undang-Undang Perpajakan yang tersendat karena tak selaras dengan kalender politik. "Ini berpengaruh pada realisasi janji penurunan tarif pajak yang ditunggu kalangan usaha," ujar Prastowo.

Catatan lain menyorot perbaikan sistem administrasi berbasis teknologi yang dianggap lambat lantaran harus menempuh beberapa prosedur formal. Menurutnya, ini berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi perpajakan. (Baca juga: Penerimaan Pajak Capai Rp 1.015 Triliun Per Oktober, 71% dari Target)

Ada pula soal penerapan peraturan yang belum seragam di lapangan sehingga muncul ketidakpastian terutama saat pemeriksaan pajak, belum lagi tentang proses administrasi biaya tinggi. Kondisi ini menghambat upaya membangun kepercayaan (trust).

Prastowo menilai bahwa 3C (clarity, certainty, consistency) terus menjadi titik lemah yang perlu diakselerasi perbaikannya. Sejalan dengan ini maka intervensi teknologi (e-audit/online audit) yang lebih terpusat, terkontrol, dan objektif perlu didorong lebih optimal.

Pertumbuhan ekonomi digital menjadi tantangan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak. Padahal, pemerintah menginginkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan digital terbesar di Asia Tenggara dengan potensi US$ 130 miliar pada 2020. Ambisi ini membutuhkan mekanisme dan perlakuan pajak yang tepat bagi pelaku ekonomi digital.

CITA menekankan bahwa proses bisnis usaha rintisan (startup) berbeda dengan perusahaan konvensional. Oleh karena itu, pemerintah harus duduk bersama dengan pegiat ekonomi digital guna merencanakan kebijakan pajak yang tepat.
(Baca juga: Tiga Persoalan Sebelum Pemerintah Tarik Pajak Produk Digital)

Secara umum, sinergi DJP dan DJBC terbilang berjalan baik. Kolaborasi keduanya menghasilkan tambahan penerimaan pajak cukup signifikan senilai Rp 22 triliun sampai akhir Desember 2018, melampaui target Rp 20 triliun maupun realisasi Rp 3 triliun pada tahun lalu.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...