Sri Mulyani Peringatkan Risiko Besar Banjir Stimulus dan Insentif

Agatha Olivia Victoria
12 Maret 2021, 18:14
Sri Mulyani, APBN, Kementerian Keuangan, countercylical
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dampak dari kebijakan countercylical.

Ekonom Senior Center Of Reform On Economics Yusuf Rendy Manilet berpendapat pemerintah perlu mempersiapkan strategi dini dalam proses konsolidasi fiskal nantinya. "Dalam krisis utang misalnya, Indonesia merupakan negara dengan tren peningkatan rasio utang bahkan sebelum pandemi terjadi," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Jumat (12/3).

Maka dari itu, strategi dalam mempersiapkan  pembiayaan dari dalam negeri dengan denominasi rupiah perlu terus diintensifkan pemerintah. Menurut ia, hal ini masih bisa dilakukan mengingat porsi penduduk muda Indonesia yang besar sehingga pemerintah bisa mengeluarkan obligasi ritel dengan target investor muda tersebut.

Terkait ketidakstabilan harga, Yusuf menilai perlu diantisipasi dengan menjaga alur distribusi komoditas yang bisa berpengaruh terhadap ketidakstabilan harga. Komoditas tersebut utamanya pangan seperti cabe rawit, beras, daging, hingga bawang. "Memantau produksi dalam negeri juga penting akhirnya dalam menjaga stabilitas harga di dalam negeri," ujar dia.

Di sisi lain, guna memitigasi risiko commodity shock, dia menekankan agar hilirisasi beragam komoditas di Tanah Air perlu didorong. Salah satunya seperti memperbaiki langkah kebijakan hilirisasi nikel dengan membatasi ekspor untuk produk tersebut.

Tak hanya WEF, sebelumnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah memperingkatkan pandemi Covid-19 dapat memicu krisis utang di negara-negara miskin. Kedua lembaga tersebut pun mendesak para kreditor untuk memberikan penundaan hingga pembatalan pembayaran utang. Namun, restrukturisasi dinilai lembaga pemeringkat utang global dapat berdampak negatif bagi akses pasar pembiayaan.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Januari 2021 mencapai Rp 6.233,14 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 38,68% pada Desember 2020 menjadi 40,28%. Namun, apabila dibandingkan dengan negara lain, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN maupun G-20 lainnya.

Pada Januari 2021 saja, pemerintah tercatat menarik utang Rp 165,83 triliun. Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam proses pemulihan akibat pandemi Covid-19 menjadi penyebab pemerintah menarik utang besar-besaran.

Berdasarkan komposisinya, utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN), yaitu sebesar Rp 5.383,55 triliun atau 86,37% dari total komposisi utang per akhir Januari 2021. Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman tercatat Rp 849,59 triliun atau 13,63%.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...