Kenaikan Cukai Rokok Bisa Dongkrak Roda Perekonomian Rp 26 Triliun

Image title
Oleh Abdul Azis Said
21 Oktober 2021, 17:54
cukai rokok, rokok, ekonomi
ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/rwa.
Pekerja melinting rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Pabrik Rokok Dasmil Kuncung, Desa Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (14/12/2020). Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok atau Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 12,5 persen yang diberlakukan mulai Februari 2021.

 Ia kemudian menghitung kenaikan tarif dengan potensi tambahan pendapatan negara. Denga simulasi yang sama dengan membandingkan tarif yang berlaku tahun 2019, kenaikan cukai 30% berpotensi menambah pendapatan negara Rp 5,72 triliun.

Kemudian kenaikan tarif 45% akan mendongkrak penerimaan hingga Rp 7,92 triliun.

Selanjutnya dari sisi serapan tenaga kerja, kenaikan cukai rokok hingga 30% akan mendorong pengurangan tenaga kerja 27,3 ribu di industri tersebut.

Kendati demikian ini dikompensasi dengan penambahan tenaga kerja baru hingga 99,1 ribu di keseluruhan perekonomian.

Begitu juga dengan kenaikan tarif 45%, akan mendorong pengurangan tenaga kerja di sektor industri rokok sampai 98,9 ribu, tapi akan ada 148,8 ribu tenaga kerja baru di sektor ekonomi secara keseluruhan.

Kendati demikian, Teguh juga memperingatkan bahwa hasil riset juga menunjukkan terdapat hubungan U terbalik antara kenaikan tarif cukai dengan potensi pendapatan negara.

 Kenaikan tarif melebihi 46% dapat berdampak negatif bagi pendapatan negara.

"Sampai kenaikan 46% itu penerimaan negara tidak akan menurun, tapi setelah itu memang terjadi penurunan penerimaan negara karena penurunan dari konsumsinya jauh lebih besar dibandingkan penerimana dari negara," kata Teguh.

Riset yang dibuat Teguh tersebut menggunakan metode dalam ekonomi perencanaan, yakni keseimbangan ekonomi.

Analisis yang digunakan yakni model input-output, dimana terdapat keterkaitan antar industri di dalam perekonomian.

Selain itu, data tarif yang menjadi pembanding yakni rata-rata tertimbang tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) tahun 2017 dan 2019. Juga, perhitungan dengan mengasumsikan bahwa pajak rokok dan pajak pertambahan nilai (PPN) tidak berubah.

Dalam analisis tersebut, Teguh juga menggunakan simulasi perubahan konsumsi rokok berdasrakan dua komponen, yakni elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Sementara koefisien elastitas yang dipakai yakni pendekatan Deaton tahun 1988.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...