Rupiah Berpotensi Melemah Tertekan Inflasi AS dan Cina
Inflasi inti bulanan naik 0,6% dari perkiraan 0,4%. Inflasi inti secara tahunan mencapai 4,6%, juga lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Ariston mengatakan inflasi di AS dapat mendorong sentimen kenaikan bunga acuan kembali menguat dan mendorong pelemahan pada rupiah. Tekanan ini tetap ada sekalipun bank sentral AS sudah mengklarifikasi bahwa belum mempertimbangkan kenaikan bunga acuan dalam waktu dekat.
Menguatnya sentimen kenaikan bunga acuan kemudian mendorong yield US Treasury melanjutkan kenaikannya. Tingkat yield dibuka di level 1,57% pada perdagangan pagi ini, padahal awal pekan ini sempat menunjukkan penurunan. Tren kenaikan yield juga dapat memicu capital outflow di negara berkembang termasuk di Indonesia yang kemudian mendorong pelemahan nilai tukar.
Di Cina, IHK juga naik 1,5% secara tahunan, lebih tinggi dari 0,7% bulan sebelumnya. Laju inflasi bulan lalu tercatat sebagai yang tercepat sejak September tahun lalu.
Meski inflasi konsumen cenderung masih rendah, pasar khawatir dengan inflasi di tingkat produsen yang meroket. Indeks Harga Produsen (PPI) Cina mencata inflasi 13,5% pada Oktober. Ini naik dari 10,7% pada bulan sebelumnya, sekaligus tertinggi dalam 26 tahun terakhir.
Kekhawatiran inflasi di Cina bahkan tidak sebatas pada lonjakan harga-harga, melainkan menjurus pada ancaman stagflasi. Ini merupakan kondisi yang menggambarkan adanya lonjakan inflasi, pada saat yang sama ekonominya tumbuh melambat bahkan kontraksi.