Terlilit Utang Rp 8.041 Triliun, RI Dibayangi Beban Bunga yang Tinggi

 Zahwa Madjid
29 Desember 2023, 06:26
Utang
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan paparan dalam konferensi pers APBN KiTa di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu (25/10/2023). Sri Mulyani menyebutkan realisasi APBN mengalami surplus sebesar Rp67,7 triliun hingga September 2023 atau setara 0,32 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan surplus APBN pada September 2022 yang tercatat sebesar Rp60,9 triliun.

Utang pemerintah terus melonjak hingga akhir tahun. Hingga 30 November 2023, posisi utang Indonesia sudah mencapai Rp 8.041 triliun dan berpotensi meningkat dengan adanya tambahan utang baru serta beban bunga yang tinggi. 

Adapun rasio utang RI terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,11%. Sekitar 88,61% komposisi utang merupakan dari Surat Berharga Negara (SBN) atau sekitar Rp 7.124 triliun dan 11,39% dari pinjaman atau sekitar Rp 916,03 triliun.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, salah satu konsekuensi dari peningkatan utang pemerintah, yaitu bertambahnya jumlah pokok utang yang harus dibayar di masa depan dan bunga utang yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Ditambah lagi, bunga utang yang ditanggung pemerintah dalam 5 tahun ke belakang.  Kemudian akan ada peningkatan proporsi belanja bunga utang yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Peningkatan ini tentu bukan hal yang baik.

“Kalau kita bicara konteks saat ini, peningkatan bunga utang ini terjadi pada era suku bunga yang sedang tinggi sehingga ongkos pembiayaan berpotensi menjadi lebih mahal dan tentu ini akan bermuara terhadap relatif besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah di kemudian hari,” ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, Kamis (28/12).

Selain itu, dengan bertambahnya utang pemerintah maka berpotensi terjadinya crowding out effect antara pemerintah dan swasta untuk memperebutkan dana. Crowding out effect adalah kondisi ketika pemerintah mencari pendanaan belanja sektor publik secara jorjoran. Akibatnya, seluruh uang beredar akan terserap ke kantong pemerintah, dan tak ada lagi sisa uang untuk mendanai proyek-proyek di sektor swasta.

Disarankan Tidak Menambah Utang Baru

Tercatat pada Oktober 2023, posisi utang Indonesia sudah mencapai Rp 7.950,52 triliun, sementara rasio utang 37,68%. Terdiri porsi kepemilikan SBN 88,66% dan pinjaman 11,34%.

Walaupun sudah membengkak, pemerintah masih berencana untuk menambah lagi utang sebesar Rp 600 triliun pada 2024 mendatang. Penambahan ini untuk menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2024.

Senada dengan Yusuf, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, menyarankan agar penambahan utang sebaiknya tidak dilakukan. Karena beresiko menambah biaya bunga utang dan menekan fiskal.

"Penambahan utang harus berkurang, situasinya belum diperlukan. Angka Rp 600 triliun sudah sekitar 2,5%-3% dari PDB. Ini harus liat biaya pokok bayar bunga utang nya berapa. Misalnya, kalau Rp 600 utang kita, bisa bayar biaya pokok utang Rp 400 triliun-500 triliun" ujar Tauhid.

Menurutnya, penambahan utang tidak hanya akan memperlambat target pencapaian pemerintah, tapi juga untuk menekan rasio utang terhadap PDB berada di angka 36%-37%.

RI akan Sulit Raih Pendanaan Baru

Yusuf menilai dalam jangka pendek, pemerintah akan sedikit sulit mendapatkan sumber pendanaan baru selain dari utang. Hal ini disebabkan pendanaan dari pajak dan non pajak masih relatif terbatas.

“Kalau kita lihat rasio pajak dalam beberapa tahun terakhir, memang belum mengalami peningkatan yang signifikan dan ada kecenderungan stagnan di angka 10%-11%, dan tentu ini juga akan berimbas terhadap kemampuan pemerintah dalam membiayai beragam kebutuhan belanja,” ujarnya.

Pemerintah dihadapkan pada pilihan peningkatan belanja namun keterbatasan ruang pendanaan melalui pajak yang relatif kecil sehingga utang dalam jangka pendek menjadi solusi yang paling memungkinkan untuk dijalankan oleh pemerintah saat ini.

Yusuf menyampaikan, bahwa terdapat opsi lain yang bisa dipertimbangkan untuk raih pendanaan baru selain utang. Yakni tidak terlalu ekspansif dalam menjalankan kebijakan fiskal.

“Tentu di tengah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi kebijakan fiskal yang tidak ekspansif itu bukanlah sesuatu hal yang relatif baik,” ujar Yusuf.

Adapun kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif dimaksud adalah memberikan atau menyalurkan bantuan sosial yang lebih besar di tahun anggaran berjalan dibandingkan tahun anggaran sebelumnya.

Selain itu, beberapa pos termasuk belanja modal, belanja subsidi dan transfer ke daerah (TKD) nilainya cukup besar. Yusuf menyebutnya, sebagai cerminan kebijakan fiskal pemerintah yang ekspansif.

“Kebijakan fiskal ekspansif berfungsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan cara menstimulasi agregat demand agar bisa tumbuh,” ujar Yusuf.

Tekan Defisit untuk Kurangi Utang

Tauhid menilai terdapat beberapa cara untuk mengurangi pendanaan melalui utang. Seperti menekan defisit, memiliki target penerimaan pajak dan penerimaan pajak yang tinggi.  "Penerimaan harus melampaui target di atas 100%, kalau bisa," ujar Tauhid.

Selain itu, Tauhid menekankan efisiensi terhadap belanja-belanja negara yang tidak berdampak langsung terhadap ekonomi. Melalui cara ini, maka defisit APBN dapat ditekan

"Seperti perjalanan dinas dan lain-lain itu dikurangi. Maka dari itu, defisit itu akan berkurang," ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...