Cerita Pegawai Karaoke dan DJ yang Keluhkan Pajak Hiburan Naik

Ferrika Lukmana Sari
19 Januari 2024, 01:41
Pajak
pexels/Big Bag Films

“Kalau di klub lebih menguntungkan, apalagi kita dibayar jasa secara penuh sebagai talent. Kalau event sendiri atau konser duitnya enggak banyak dan biasanya lebih capek,” ujarnya.

Memasukan Spa Sebagai Hiburan

Ketua Asosiasi Spa Indonesia Wellness, M. Ashyadi mengaku, tarif pajak yang tinggi bukan menjadi keresahan utama bagi para pengusaha spa. Namun ia menyayangkan aturan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang memasukkan spa sebagai kategori hiburan.

Menurut Ashyadi, dalan peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif nomor 11 tahun 2019 ternyata sudah ada pembaharuan dari peraturan menteri sebelumnya. Dengan memasukan spa sebagai pelayanan kesehatan tradisional.

"Bahkan dalam undang-undang kementerian kesehatan nomor 36 Tahun 2009 dan peraturan pemerintah tahun nomor 103 tahun 2014 juga sudah dijelaskan bahwa spa terkait dengan kesehatan tradisional," kata Ashyadi.

Saat ini, pihaknya telah mengajukan judicial review atau uji materi terkait peraturan HKPD. Pengajuan tersebut dilakukan pada 5 Januari 2024 lalu. Dalam gugatannya, asosiasi spa meminta peninjauan ulang pada pasal 58 ayat 2 UU HKPD.

“Di sana disebutkan pajak barang dan jasa (PBJT) sebesar 10% dikecualikan mandi uap/spa. Inilah yang kami tidak setuju,” ujar Ashyadi.

Adapun dalam ketentuan tersebut, pemerintah mengenakan pajak hiburan paling rendah 40% dan paling tinggi 75% untuk mandi uang/spa, diskotek, karaoke, kelab malam dan bar. Sementara 11 jenis hiburan lain dikenakan pajak maksimal 10%.

Luhut Minta Pajak Hiburan Ditunda

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kenaikan pajak hiburan akan ditunda, sambil menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut dia, kenaikan pajak hiburan menjadi 40% sampai 75% merupakan keputusan Komisi XI DPR, bukan pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, Ashyadi menyayangkan keputusan komisi XI tersebut karena mengkategorikan spa sebagai hiburan dan tidak melibatkan pengusaha-pengusaha spa dan hiburan lainnya dalam mengambil keputusan tersebut.

“Makanya, dalam judicial review syaratnya ada dua, jika melanggar UUD 1945 dan tidak melibatkan stakeholder. Ini kedua, secara operasional usaha tidak bisa hidup jika pajak tinggi dan saat pembentukan UU tersebut tidak melibatkan para stakeholder,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Zahwa Madjid
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...