Ekonomi RI Sulit Naik 7%: Terkendala Biaya Investasi dan Manufaktur

Ferrika Lukmana Sari
9 Februari 2024, 12:26
ekonomi
ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/wpa.
Foto udara pelabuhan dan bangunan di kawasan pesisir utara Jakarta, Rabu (17/1/2024). Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2024 akan berada di kisaran 4,7 persen-5,5 persen atau lebih tinggi dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2023 yakni 4,5 persen-5,3 persen dengan ditopang permintaan domestik.

Akibatnya, hilirasi tidak berkolerasi dengan porsi manufaktur. Padahal pemerintah gencar menggalakkan program hilirisasi, tapi porsi manufaktur terhadap PDB belum bisa di atas 20%, bahkan hanya di kisaran 18%.

"Ini menandakan hilirisasi belum didorong secara masif. Harusnya nikel untuk melengkapi bahan baku baterai, tapi industri baterai di dalam negeri masih belum berkembang," ujar Bhima.

Sehingga ada ketidaksesuaian antara komoditas olahan primer dengan industri perakitan. Menurut Bhima, ada rantai pasok yang terputus dari program perakitan baterai maupun perakitan mobil listrik di Indonesia.

Biaya Investasi RI Terlalu Tinggi

Selain ICOR Indonesia terlalu tinggi, Bhima menyebut tingkat korupsi yang masif di berbagai level birokrasi sehingga ada pungutan liar dan biaya investasi di Indonesia relatif mahal, termasuk biaya logistik.

"Jadi buat apa pemerintah mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk IKN, untuk kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal isu utamanya biaya logistik yang masih mahal, seharusnya ada peningkatan kapasitas, konektivitas untuk pelabuhan, transportasi kereta untuk logistik, itu yang seharusnya diprioritaskan," ujar Bhima.

Dengan begitu, kata Bhima, anggaran belanja infrastruktur tidak mampu menurunkan biaya logistik sehingga ICOR Indonesia masih tinggi. Selain itu, Indonesia juga masih terkendala soal sumber daya manusia (SDM).

Bhima membenarkan, bahwa Indonesia memproleh bonus demografi yang puncaknya terjadi pada 2030. Namun mereka belum bisa mengisi berbagai keterampilan di bidang jasa dengan pendapatan tinggi, karena ada gap keahlian yang lebar.

Jadi untuk mencapai pertumbuhan 7%, menurut Bhima, mesti ada perubahan struktural secara menyeluruh mulai dari birokrasi. Kemudian fokus pada aspek infrastruktur, SDM dan motor pertumbuhan ke depan seperti ekonomi hijau.

"Transisi energi kita mundur ke belakang, harusnya kita makin mendorong komponen surya panel, komponen mikrohidro dan komponen energi terbarukan," kata Bhima.

Sektor Pertanian Tumbuh Melambat

Senada, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut, Indonesia sulit untuk bisa tumbuh hingga 7%. Karena harus didorong oleh sektor utama seperti pertanian, pengolahan dan pertambangan yang saat ini tumbuh melambat.

"Bagaimana bisa tumbuh 6%, sekarang [Indonesia] hanya bisa tumbuh 4%-5%. Pertanian juga turun 3%, sehingga lebih berat. Jangan bicara sektor yang baru, untuk pertanian saja, pemerintah nggak serius," kata Tauhid.

BPS mencatat, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan hanya tumbuh 1,30% pada 2023. Pertumbuhannya masih kalah jauh dengan sektor pertambangan dan penggalian (6,12%), serta sektor transportasi dan pergudangan (13,69%).

Sementara sektor infomasi dan komunikasi tumbuh lebih tinggi yakni 7,59% pada 2023. Bagi Tauhid, kontribusi sektor ini masih kecil terhadap PDB dibandingkan sektor pertanian.

Guna mengantisipasi itu, Tauhid mendesak pemerintah untuk membendung perdagangan bebas agar produk-produk Indonesia bisa memiliki daya saing. Tauhid menilai, kebijakan impor membuat industri dalam negeri tidak berkembang.

"Tidak ada produksi, tidak ada pengumpulan bahan baku dan sub industri [tidak] berkembang. Impor terima jadi aja, sehingga usaha dan uang kita keluar [ke negara lain]," kata Tauhid.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...