Dampak PPN 12% Berisiko Meluas, Harga Barang dan Biaya Hidup Terancam Naik
Sejumlah ekonom memperkirakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% akan memberi efek domino terhadap kenaikan harga barang-barang hingga biaya hidup masyarakat meski kebijakan pajak ini hanya menyasar barang-barang mewah pada 2025.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai dampak kebijakan PPN 12% akan dirasakan oleh kelompok ekonomi kecil. “Ini melalui mekanisme ekonomi yang disebut spillover effect,” kata Hidayat, Senin (12/9).
Ketika barang-barang mewah mengalami kenaikan harga, maka biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang di industri.
“Akhirnya, konsumen dari semua lapisan ekonomi harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari,” ujar Hidayat.
Selain itu juga berdampak pada kelompok kecil yang bekerja di sektor-sektor pendukung produksi barang mewah. Jika permintaan barang mewah turun akibat kenaikan pajak, kelompok kecil yang bekerja di sektor ini akan terdampak. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan.
Banyak Penambahan Kategori Barang Mewah
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda khawatir adanya penambahan kategori dengan memperluas definisi barang mewah. “Sehingga banyak barang yang dahulunya tidak masuk kategori barang mewah, menjadi masuk ke kategori barang mewah,” kata Huda.
Selain itu, tak ada jaminan objek pajak apakah akan diperluas untuk penerapan tarif PPN 12% pada tahun-tahun mendatang, terutama pada barang-barang yang dikonsumsi oleh kelas menengah dan menengah ke bawah.
Di sisi lain, Huda menyoroti sikap pemerintah yang seakan-akan tak membebani PPN terhadap sembako, layanan kesehatan, dan pendidikan. Padahal, itu merupakan barang-barang yang tak dikenakan PPN dan sudah ada di aturan lama.
Pemerintah dinilai tak perlu menggunakan informasi tersebut hanya untuk gimmick semata. “Pada pembahasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan bahkan ada usul bahwa barang sembako, pendidikan, hingga kesehatan tidak jadi masuk ke barang kena PPN,” kata Huda.
Opsi yang Bisa Dilakukan Pemerintah
Huda menilai pemerintah masih memiliki sejumlah opsi yang lebih cocok diambil ketika daya beli masyarakat tertekan. Salah satunya dengan menurunkan tarif PPN menjadi 10%.
Selain itu, pemerintah juga masih bisa menggunakan instrumen tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk menaikkan setoran pajak dari perdagangan barang mewah.
Di sisi lain, Hidayat juga menyarankan, pemerintah agar menerapkan pajak progresif. “Daripada menggunakan tarif flat sebesar 12% untuk semua barang mewah, pemerintah dapat memberlakukan tarif pajak progresif berdasarkan nilai barang,” ujar Hidayat.
Jika nilai barang semakin tinggi, maka semakin besar tarifnya. Pendekatan ini dinilai akan lebih adil dan tidak terlalu membebani kelompok masyarakat menengah.