Kisah Desa Karangtengah, Desa Mandiri Energi yang Menolak Listrik PLN

Air dari Telaga Pucung mengalir deras melewati Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Aliran yang melewati sungai kecil dengan kontur menurun di Dusun Kalipondok dan Dusun Telaga Pucung menambah riuh bunyi derai air.
Desa yang terletak di lereng Gunung Slamet itu berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Di sepanjang jalan berkelok menuju desa tersebut, terhampar pepohonan pinus dan lahan perkebunan sayur.
Sepintas tidak ada yang istimewa dengan desa ini. Namun, nyatanya desa ini adalah desa mandiri energi yang hidup tanpa sambungan listrik dari PLN. Sebanyak 75 keluarga yang mendiami desa ini mendapatkan listrik dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) mikrohidro dari aliran sungai kecil yang melaluinya.
Ya, desa ini terang benderang dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) tanpa pernah tersambung dengan jaringan listrik PLN. "Dulu itu gelap gulita. Lalu tahun 2012 dipasang PLTMH," kata Kepala Desa Karangtengah, Karyoto, kepada Katadata.co.id, Rabu pekan lalu (29/6).
Karyoto bercerita bahwa pada tahun 2012 pihaknya menerima bantuan dari Komando Distrik Militer (Kodim) Banyumas dan PT Indonesia Power untuk pembangunan PLTMH. Lima tahun berselang, PLTMH tersebut disempurnakan oleh Dinas ESDM Jateng dengan kekuatan 15 kilowatt (Kw).
"Berjalannya waktu kurang lebih lima tahun itu kurang maksimal. Hingga akhirnya muncul bantuan dari Dinas ESDM Jateng. Saat ini listrik nyala 24 jam, nyala stabil. Saat ini dua dusun itu telah swasembada listrik," ujar Karyoto.
Ia pun menjelaskan cara kerja PLTMH di desanya. Pertama-tama arus akan melewati pintu air yang berfungsi sebagai penyaring dari daun dan ranting pohon yang terbawa arus. Saringan itu terletak di bagian atas sungai, terbuat dari besi warna biru.
Selanjutnya, arus air akan diarahakan menuju turbin melalui pipa besi berdiameter sekitar 40 centimeter (cm). Pipa itu memiliki panjang 200 meter, terhitung dari lokasi pintu air menuju turbin yang terletak di dalam sebuah bangunan.
Arus air yang datang dari ketinggian itu kemudian menabrak turbin sehingga menciptakan gerakan sentripetral yang memicu dorongan kepada generator. Proses tersebut menimbulkan suara bising yang terdengar hingga radius 30 meter.
Usai menggerakkan turbin, air yang arusnya sudah tak terlalu deras akan ditampung di sebuah bak untuk diarahkan kembali ke sungai. Listrik yang dihasilkan dari proses tersebut selajutnya disalurkan melalui jaringan kabel ke 75 rumah yang ada di Dusun Telaga Pucung dan Dusun Kalipondok.
Adapun tarif listrik yang dibebankan kepada warga hanya Rp 500 per kilowatt jam (kWh). Karyoto mengatakan, tiap bulan warga akan ditarik iuran dengan nominal yang berbeda. Tergantung dari jumlah pemakaian dan besaran instalasi listrik yang mereka pasang di rumahnya.
"Rata-rata, warga membayar iuran dari Rp 30.000-70.000 per bulan. Satu bulan kurang lebih iuran bisa Rp 2 juta, tergantung pemakaian. Sampai hari ini di buku kas pengurus ada sisa bersih Rp 20 juta lebih. Dari iuran itu, kami gunakan untuk persiapan perbaikan perawatan dan honor pengurus," papar Karyoto.
Sementara itu, Ketua pengurus PLTHM Desa Karangtengah, Karwin Zaenal mengatakan bahwa generator menyala nonstop 24 jam sehari. Namun tiap dua pekan sekali, listrik akan dipadamkan selama 5 jam untuk perawatan generator.
Pemadaman dimulai sejak pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Sebagai pengurus PLTHM, tiap lima hari pertama di awal bulan, Zaenal dibantu dengan sekretaris mengunjungi rumah-rumah warga untuk menarik iuran wajib.
Zaenal kemudian menunjukkan rumahnya yang berjarak 100 meter dari pos pembangkit. Daya listrik terpasang di rumah Zaenal sebesar 450 volt ampere (VA) untuk menyalakan televisi, kulkas, penanak nasi dan lampu. "Yang paling banyak makan setrum itu penanak nasi," ujarnya.
Pria berusia 34 tahun itu menunjukkan sejumlah barang elektronik yang tersambung dengan listrik hasil PLTMH. Saat itu, hanya dua barang eletronik yang menyala, yakni kulkas dan penanak nasi. Dia juga menunjukkan adanya listrik yang tersambung dengan menghidupkan saklar lampu.
"Bulan kemarin saya bayar iuran Rp 30.000. Kalau di sini, tergantung pakainya. Kalau pakai banyak ya iurannya banyak, kalau pakainya sedikit ya iurannya sedikit," ujarnya.
Zaenal yang sehari-hari berprofesi sebagai petani sayuran ini mengaku bisa menghemat pengeluaran rumah tangga dari adanya PLTMH di Dusun Telaga Pucung. Dari hasil menanam sawi hijau, tomat, dan daun bawang, Zaenal biasa meraup Rp 2-7 juta per bulan.
Dia menceritakan, sebelum adanya aliran listik dari PLTHM, warga memperoleh listrik dari energi kinetik yang berasal dari dinamo yang digerakkan oleh kincir air. Alur kerja kincir air tersebut terdiri dari baling-baling kayu yang dikaitkan dengan karet untuk menggerakkan dinamo.
Ayah tiga orang anak itu mengatakan, kincir air itu dibangun dan dirawat secara mandiri tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
"Energinya dari aliran sungai. Satu baling-baling untuk satu rumah. Cuma itu gak maksimal, kalau ada banjir terlalu keras, blong. Kadang hilang baling-balingnya dan kalau ada kerusakan kami benahi sendiri-sendiri," kenang Zaenal.
Pria yang lahir di Desa Telaga Pucung ini mengaku tidak pernah mengalami pemadaman listrik berkepanjangan selama menjadi pelanggan listrik PLTHM. Biasanya, aliran listrik akan padam jika ada pewaratan pembangkit dan kondisi sungai saat banjir.
Banjir yang membawa sejumlah material dedaunan dan pepohonan akan tersangkut di besi penyaring sehingga menghambat lajur arus air. "Kalau banjir itu dedaunan dan pepohonan nutup penyaring. Kami langsung sigap ke sana, kami buang (dedaunan) terus nyala lagi," jelasnya.