Dana JETP untuk Pensiun Dini PLTU, ESDM: Tak Bisa dari Pinjaman Bank
Pemerintah Indonesia telah menyepakati pendanaan transisi energi melalui kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. Dana tersebut akan disalurkan dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, dan pinjaman komersial.
Dana tersebut akan digunakan untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan, demi mencapai target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menyebut pendanaan JETP dari perbankan bakal mengisi ruang lebih banyak untuk pengembangan pembangkit energi terbarukan daripada untuk pensiun dini PLTU.
Dadan menjelaskan, lembaga keuangan tak begitu tertarik membiayai proyek pensiun dini PLTU. "Yang saya pahami dari pensiun dini ini basisnya komersialnya harus tetap sama, tidak boleh rugi," kata Dadan saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR pada Senin (21/11).
"Kalau komersial bunganya seperti ini menurut saya tidak ada, ketertarikannya gak ada kalau komersial. Pendanaan dari lembanga keuangan Komersial mungkin masuknya ke EBT-nya, di pengganti PLTU-nya," ujarnya.
Selain pendanaan iklim JETP, Pemerintah bersama Asian Development Bank (ADB) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk pensiun dini PLTU Cirebon-1 yang berkapasitas 660 megawatt (MW) melalui pendanaan senilai US$ 250-300 juta atau setara Rp 3,8-4,6 triliun lewat Energy Transition Mechanism (ETM).
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai skema pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara lewat mekansime ETM belum mampu menarik pendanaan dari perbankan maupun dari pemberi pinjaman komersial.
Pendanaan ETM sejauh ini masih bergantung pada sumber keuangan dari donor negara, hibah dan filantropi. Peneliti Keuangan IEEFA, Elrika Hamdi, mengatakan pihak lembaga keuangan komersial masih gamang untuk menyalurkan pinjaman pendanaan untuk proyek pensiun dini PLTU.
"Itu memang jadi dilema kerena ketika perbankan ingin menyalurkan pendanaan pada penutupan dini PLTU, mereka akan menyentuh pendanaan kotor sedangkan bank kan tidak mau portofolio mereka dikotori oleh aset-aset ini," kata Elrika saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Minggu (20/11).
Dia menambahkan, kebijakan ini mulai diterapkan dan berlaku pada lembaga keuangan atau perbankan yang berada di negara-negara yang sudah memberlakukan taksonomi hijau, termasuk Indonesia. Kekhawatiran tersebut ditambah oleh sikap sejumlah nasabah dan lembaga masyarakat sipil yang kini menyoroti portofolio perbankan.
Lebih lanjut, mekanisme ETM untuk pensiun dini tidak masuk dalam green financing atau pendanaan hijau. "Pendanaan ini memang bukan green financing, tapi negara berkembang seperti Indonesia butuh transition financing," ujar Elrika.