Mulai dibukanya perekonomian dari berbagai kebijakan pembatasan sosial dan penguncian wilayah (lockdown) Covid-19 membuat permintaan energi pulih dan meningkat secara signifikan setelah hampir dua tahun lamanya menyusut. Kondisi ini melambungkan harga komoditas energi, mulai dari gas alam, minyak bumi, tak terkecuali batu bara, sebab pulihnya permintaan tak diimbangi dengan ketersediaan pasokan.

Pelaku di sektor energi telah berjuang untuk mendongkrak produksinya. Namun upaya tersebut membutuhkan waktu sebelum pasokan dapat pulih dan dapat memenuhi permintaan. Kondisi ini diperparah dengan produksi pembangkit listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT), seperti angin dan surya, yang di bawah harapan.

Di tengah terbatasnya pasokan minyak, gas, dan sumber energi terbarukan, batu bara kembali menjadi pilihan. Padahal mineral hitam ini mulai ditinggalkan karena komitmen dekarbonisasi dan net zero emission di sektor energi, terutama oleh negara-negara maju di kawasan benua biru. Batu bara dianggap sebagai pencemar berat, sumber emisi karbon dan gas rumah kaca, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim.

Namun krisis energi membut negara-negara Eropa tak punya pilihan selain menyalakan kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara untuk mengatasi tingginya harga dan terbatasnya pasokan gas, yang merupakan salah satu sumber energi utama selain EBT.

Termasuk Cina yang sebenarnya merupakan salah satu negara terdepan dalam pengembangan EBT, dengan total kapasitas terpasang pembangkit angin dan surya mencapai 581 gigawatt (GW). Bahkan Cina telah mempensiunkan hingga 297 gigawatt (GW) PLTU sejak 2007. Sama seperti Eropa, produksi pembangkit EBT yang di bawah harapan membuat negara ini jatuh ke dalam krisis energi dan mengandalkan PLTU.

Bahkan, data Bloomberg New Energi Finance (NEF) menunjukkan kalau negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ini berencana membangun 247 GW PLTU baru hingga 2025 untuk memenuhi permintaan energi yang meningkat seiring pemulihan ekonomi. Simak databoks berikut:

Harga gas acuan Eropa Dutch Title Transfer Facility (TTF) menyentuh level € 180,27 per Megawatt Hour (MWh) pada Desember, meski harganya kini telah turun ke € 77,22 per MWh. Sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) mencapai US$ 83,36 per barel dan Brent sempat menyentuh US$ 86,40. Meski sempat turun ke level US$ 60-an per barel, kini harga minyak mulai kembali menuju level US$ 80-an.

Dengan tingginya harga gas dan minyak mentah, permintaan batu bara meroket karena harganya yang relatif lebih ekonomis. Namun terbatasnya pasokan pada akhirnya ikut melambungkan harga komoditas berjuluk emas hitam ini, hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa pada Oktober di level US$ 269,50 per ton.

Untuk mengatasi keterbatasan pasokan, negara-negara produsen batu bara, terutama Cina, menggenjot produksinya meski sempat terkendala cuaca. Seiring waktu, produksi meningkat sehingga harganya mulai turun hingga menyentuh level US$ 170,1 pada Senin (27/12). Meski demikian, harga batu bara masih berpotensi untuk naik lagi.

"Permintaan batu bara global diperkirakan akan meningkat lagi pada tahun 2022 karena pasar berkembang, khususnya Cina dan India, akan membutuhkan pasokan energi tambahan dari batu bara untuk memenuhi pertumbuhan permintaan energi tambahan," tulis laporan S&P Global Platts Analytics.

Sementara itu laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan permintaan batu bara di seluruh dunia berpotensi mencapai level tertinggi sepanjang masa dalam dua tahun ke depan. Permintaan global untuk batu bara tahun ini, khususnya untuk industri baja, semen, serta pembangkit listrik, diperkirakan meningkat 6%. "Permintaan batubara diperkirakan akan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2022 dan kemudian permintaannya akan melandai," tulis laporan IEA.

Analis sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi memprediksi harga batu bara mencapai puncak tertingginya pada Januari 2022 seiring puncak musim dingin. Namun setelah itu melandai dan bergerak stabil di kisaran US$ 130 per ton pada Februari. "Seandainya terkoreksi itu terakhir harga tertinggi. Kemungkinan besar memasuki Februari harga gas alam dan batu bara lebih stabil," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (28/12).

Faktor pendorong turunnya harga selain berakhirnya musim dingin yaitu kembali normalnya kegiatan eksplorasi di Cina, India, Eropa, Australia, dan Amerika. Ini lantaran salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan eksplorasi adalah cuaca.

"Seiring waktu Cina kembali lagi melakukan eksplorasi meskipun musim dingin. Tantangan besar itu pada musim penghujan, di Cina juga ada banjir bandang. Di kota-kota di Cina yang mengalami banjir bandang ini yang menyebabkan terjadinya krisis energi," katanya menambahkan.

Dia pun memproyeksikan harga batu bara mulai akan stabil pada kuartal III 2022. Setidaknya, harga batu bara pada periode tersebut diperkirakan akan berada di level US$ 100 per ton. Hal ini seiring dengan kebijakan tapering oleh Federal Reserve (The Fed) dan menguatnya Indeks dolar AS yang berdampak pada perdagangan komoditas internasional. "Kalau dolar menguat tajam ini akan berdampak pada perdagangan komoditas internasional," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement