Privatisasi Syarat Transformasi Garuda Indonesia

Ridha Aditya Nugraha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
11 September 2021, 11:00
Ridha Aditya Nugraha
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Pesawat Garuda Indonesia Airbus A330-900neo bercorak khusus yang menampilkan visual masker pada bagian moncong pesawat berada di Hanggar GMF AeroAsia Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (1/10/2020). Pemberian gambar masker pada pesawat merupakan dukungan Garuda Indonesia terhadap program edukasi pemerintah melalui kampanye 'Ayo Pakai Masker'.

Kedua, BUMN seyogianya fokus sebagai alat pembangunan nasional. Termasuk sebagai bagian upaya-upaya untuk menciptakan lapangan kerja, mendorong kebijakan industri hingga menjaga keamanan nasional.

Ketiga, yang paling penting, BUMN tetap eksis untuk tujuan yang lebih besar ketimbang sekadar mencari keuntungan. Posisinya harus  menjadi media penyaluran barang atau layanan bersubsidi melalui kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO).

Tiga patokan di atas tampaknya semakin jauh dengan Garuda Indonesia. Sejak 2004, industri penerbangan nasional telah berevolusi dari rezim monopoli dengan aturan ketat menjadi lebih liberal dan terbuka terhadap mekanisme pasar bebas.

Industri penerbangan saat ini disesaki berbagai maskapai swasta, baik layanan penuh (full-service) hingga berbiaya hemat (low-cost). Garuda bersaing dengan kompetitor-kompetitor swasta tersebut, dengan umumnya bertarif paling mahal. Adaptasi terhadap gempuran pasar justru lebih berhasil dilakukan Citilink.

Menimbang perkembangan drastis dalam beberapa terakhir, pemerintah perlu memikirkan upaya privatisasi Garuda lebih jauh sebagai solusi situasi terkini. Satu syarat yakni golden share tetap dipegang pemerintah  agar tetap memiliki hak dalam menentukan kebijakan strategis. Termasuk dalam hal ini adalah pemilihan direktur utama hingga memastikan pemanfaatan armada untuk kepentingan nasional.

Kehadiran investor swasta yang berorientasi bisnis dapat menjadi katalis penyeimbang terhadap segala keputusan politis. Terlalu banyak variasi pesawat Garuda Indonesia sebelum pandemi dapat dijadikan salah satu studi kasus. Manajemen profesional layaknya kabinet kerja (zaken cabinet) republik dahulu kala dibutuhkan.

Strategi bertahan, dan terpenting pemulihan serta ekspansi pasca-pandemi, membutuhkan kolaborasi keahlian manajemen transportasi udara serta hukum udara. Perlu pula kolaborasi akademisi yang tidak hanya hadir untuk didengar sebagai pelengkap dibutuhkan. 

Tanpanya, jangan harap Garuda Indonesia dapat setingkat dengan Cathay Pacific maupun Singapore Airlines. Keduanya berhasil berkembang melalui kolaborasi apik, termasuk dengan bandara homebase-nya dalam mengoptimalkan penerapan kedua ilmu tersebut. Jangan lupa, industri penerbangan tidak lain berbicara freedom of the air.

Penyelamatan Garuda melalui penyertaan modal negara yang bermuara dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sudah sepantasnya difokuskan pada serangkaian perusahaan plat merah yang memang tergolong sektor esensial. Artinya, benar-benar berkaitan dengang sektor penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Butuh modal dan risiko tinggi untuk masuk ke dalam industri penerbangan sarat prestise ini. Richard Branson pemilik maskapai Virgin Atlantic terkenal dengan ucapan, “If you want to be a millionaire, start with a billion dollars and launch a new airline”.

Alitalia selaku flag carrier Italia telah membuktikannya. Maskapain ini terus-menerus menerima injeksi modal di tengah tentangan fair competition dan protes uang pajak selalu menguap.

Akhir kata, penyelamatan hanya untuk jangka pendek diperlukan guna menjamin jembatan udara Nusantara. Kritik diberikan akan minimnya bantuan terhadap maskapai swasta, mengingat Garuda  sebelum pandemi pun terbukti tidak mampu merajut konektivitas nasional seorang diri.

Berbicara pasca-pandemi, privatisasi diperlukan guna menghadirkan inovasi dan transformasi agar Garuda menjelma menjadi maskapai global, atau setidaknya mampu membukukan profit. Fair competition dengan maskapai swasta perlu tercipta agar iklim bisnis lebih sehat.

Tantangan open skies menanti, salah satu yang adalah ASEAN-EU Open Skies yang detailnya sedang digodok. Direksi baru terpilih perlu meninjau keseimbangan akan perkembangan pada tingkat regional tersebut dengan strategi bisnis yang memprioritaskan penerbangan domestik.

Kesempatan berbenah hadir saat industri penerbangan tengah memulai kembali. Wajah baru dunia penerbangan akan hadir. Semoga Garuda Indonesia tidak terlambat mengejar momentum langka ini.

Artikel Opini ini ditulis bersama Kurnia Togar Tanjung, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Halaman:
Ridha Aditya Nugraha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...