Penurunan suku bunga acuan saat ini belum diikuti oleh turunnya suku bunga kredit karena membutuhkan waktu penyesuaian sekitar satu sampai dua triwulan. “Sementara pelonggaran LTV atau penurunan besarnya uang muka, dengan suku bunga yang masih tinggi dan tenor yang sama justru menyebabkan cicilan menjadi lebih besar,” kata Pieter.

Karena itu, ia memperkirakan aturan bank sentral tersebut tidak akan serta merta memacu pertumbuhan kredit, khususnya sektor property kelompok menengah ke atas. Pertumbuhan kredit properti akan mulai melaju kencang ketika pelonggaran LTV diikuti dengan penurunan suku bunga kredit.

(Baca: Menko Darmin Sebut BI Masih Punya Ruang Pelonggaran Moneter)

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai tanpa insentif fiskal akan sulit mendongkrak sektor properti. "Properti itu banyak dinamika, selain suku bunga, juga permintaan dan pasokan, sarana prasarana misalnya listrik dan akses, itu semua satu paket, makanya sisi fiskal juga perlu didorong," katanya seperti dikutip Antara.

Apalagi dia lihat saat ini sektor properti melemah. Hal ini terjadi akibat dampak situasi ekonomi global yang melemah sehingga berdampak kepada investasi jangka menengah-panjang, seperti properti.

Hasil Survei Properti Residensial di pasar primer oleh Bank Indonesia menunjukkan penjualan properti residensial secara triwulanan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 15,9% secara kuartalan (qtq) pada triwulan II 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang melaju positif sebesar 23,77%.

Penjualan rumah tipe kecil turun dari 30,13% pada triwulan I 2019 menjadi -23,48% pada triwulan II 2019. Penjualan rumah tipe menengah yang pada triwulan I 2019 tumbuh 13,33% tetapi pada triwulan II mencatat -12,88%. Hanya rumah tipe besar yang mengalami pertumbuhan positif dari 24,56% pada triwulan I 2019 menjadi 33,08% pada triwulan II 2019.

Responden menyatakan, faktor yang menyebabkan penurunan pertumbuhan penjualan properti residensial pada triwulan II 2019 adalah melemahnya daya beli. Faktor lainnya adalah suku bunga KPR tinggi, tingginya harga rumah, dan permasalahan perizinan atau birokrasi dalam pengembangan lahan.

(Baca: BI Longgarkan Aturan, Ini Syarat Bank agar DP KPR Lebih Ringan)

Sektor otomotif pun tak jauh beda. Penjualan mobil domestik pada Agustus 2019 cenderung lesu jika dibandingkan dengan Agustus tahun lalu. Tercatat penurunan total penjualan mobil domestik sebesar 11,54% dari 102,2 ribu unit pada Agustus 2018 menjadi 90,4 ribu unit per Agustus 2019.

Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto menyatakan, lesunya penjualan pada tahun ini disebabkan adanya momentum pemilihan umum (Pemilu) yang membuat masyarakat wait and see dalam membeli mobil.

Namun jika dibandingkan secara bulanan, penjualan mobil domestik meningkat tipis sebesar 1,46% dibandingkan Juli 2019 yang sebesar 89,1 ribu unit. Peningkatan ini didorong oleh pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) pada Juli lalu.

(Baca: BTN Duga Bisnis Properti Lesu karena Kaum Milenial Pilih Sewa Hunian)

Karena itu, Eko mengatakan kebijakan pelonggaran LTV tak akan signifikan mendorong pertumbuhan kredit. Dari sisi permintaan sedang melemah, perbankan juga belum melakukan relaksasi terhadap bunga kreditnya.

Menurut Wakil Direktur INDEF itu, relaksasi hanya bisa terjadi kalau suku bunga deposito atau simpanan juga turun. Namun, perbankan harus cermat melakukan hal tersebut karena likuiditas di pasar sedang ketat.

Perbankan saat ini bersaing mendapatkan dana masyarakat dengan pemerintah. Penyebabnya, pemerintah sedang gencar menawarkan surat berharga negara (SBN) dengan bunga yang lebih menarik. "Yang harusnya (nasabah) bisa tabung, menambah likuiditas bank, tapi disedot lewat SBN, jadi ini agak dilema, agak susah bagi bank," katanya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement