Pemerintah Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Ini Dua Alasannya
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu No. 2-2022 tentang Cipta Kerja pada hari ini, Jumat (30/12). Secara hukum, beleid tersebut membuat inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi pada Undang-Undang No. 11-2020 tentang Cipta Kerja menjadi gugur.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan Perppu No. 2-2022 diterbitkan atas dua dasar, yakni kebutuhan mendesak presiden dan kekosongan hukum.
"Menurut ilmu hukum di manapun, hampir seluruh ahli hukum sependapat bahwa keadaan mendesak itu adalah hak subjektif presiden. Itu adalah kunci utama untuk dikeluarkannya Perppu," kata Mahfud di Kantor Kepresidenan, Jumat (30/12).
Mahfud mengatakan alasan mendesak atau kebutuhan mendesak telah diatur menjadi salah satu dasar pembuatan Perpu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138 /PUU-VII/2009. Menurutnya, dasar putusan tersebut adalah kegentingan yang memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan undang-undang, tapi undang-undang yang dibutuhkan belum ada.
Mahfud menjelaskan pemerintah menilai UU Cipta Kerja harus digunakan untuk menghindari krisis yang diproyeksi terjadi pada 2023. Sementara itu, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 2021 dan harus direvisi dengan Undang-Undang baru sebelum 2023.
Mahfud mengatakan UU Cipta Kerja harus digunakan dalam waktu dekat, sedangkan pembuatan undang-undang memakan waktu yang lama dan proses yang panjang. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan Perppu yang notabenenya setara dengan Undang-Undang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan keadaan mendesak yang dimaksud adalah percepatan antisipasi negara terhadap kondisi global, baik terkait ekonomi maupun konflik geopolitik. Dengan demikian, sebanyak 30 negara telah menjadi penerima dana bantuan International Monetary Fund atau IMF.
Sementara itu, Airlangga mengatakan 30 negara lainnya terancam menjadi penerima bantuan IMF. Adapun, 60 negara tersebut merupakan negara berkembang yang rentan akan krisis yang timbul dari instabilitas perekonomian global dan konflik geopolitik.
"Kondisi krisis ini menjadi sangat riil. Semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim," ujar Airlangga.
Menurutnya, Perppu No. 2-2022 dibutuhkan, agar kondisi tersebut tidak memengaruhi perilaku dunia usaha di dalam negeri. Pasalnya, aturan tersebut dinilai akan memberikan kepastian hukum bagi para investor.
Airlangga menyampaikan target investasi pada 2023 naik Rp 200 triliun dari target tahun ini mencapai Rp 1.400 triliun. Selain itu, target defisit anggaran pada tahun depan di bawah 3% atau hanya 2,8%.
Oleh karena itu, Airlangga menilai pertumbuhan ekonomi nasional pada 2023 akan sangat tergantung oleh investasi. Namun saat ini investor di dalam dan luar negeri masih wait and see dalam menanamkan uangnya di dalam negeri mengingat UU Cipta Kerja belum berlaku.
"Target investasi dan defisit anggaran ini harus dicapai. Tidak mudah dan seluruhnya karena pengusaha wait and see terhadap kepastian hukum dan keberlanjutan UU Cipta Kerja," kata Airlangga.