Pandemi Covid-19 membuat perempuan semakin rentan menjadi korban kekerasan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019.
Mayoritas laporan masuk pada April atau bulan kedua kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan di sejumlah daerah Indonesia. Angkanya mencapai 232 laporan. Lebih banyak dari bulan sebelumnya yang 181 laporan. Sedangkan, pada Mei sebanyak 207 laporan.
Ranah kasus kekerasan paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/ranah personal (RP). Persentasenya mencapai 69% dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Disusul kekerasan di ranah komunitas (30%) dan negara (1%).
Bentuk KDRT/RP yang paling banyak berupa kekerasan psikis, yakni 398 laporan. Lalu, jenis paling banyak adalah kekerasan terhadap istri, yakni 170 laporan. Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah kepada Katadata.co.id, Jumat (18/9), menyatakan hal ini terjadi lantaran PSBB dan penurunan tingkat ekonomi atau penghasilan membuat ketegangan dalam hubungan suami-istri meningkat.
Hasil survei daring Komnas Perempuan periode April-Mei 2020 terhadap 2.285 orang laki-laki dan perempuan menyatakan, 10,3% responden mengaku hubungannya dengan pasangan semakin tegang sejak pandemi Covid-19. Dari angka tersebut, 12% adalah pasangan yang telah menikah.
Berdasarkan tingkat perekonomian, pasangan yang berpenghasilan di bawah Rp 5 juta dua kali lebih banyak mengaku hubungannya semakin tegang dibandingkan yang berpenghasilan di atas Rp 5 juta. Sebuah hal yang mengindikasikan faktor perekonomian berkorelasi dengan tingkat keharmonisan rumah tangga selama Covid-19.
Tekanan ekonomi memang paling dalam dirasakan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 5 juta. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Juni menyatakan, 70,53% masyarakat berpenghasilan Rp 1,8 juta pendapatannya turun. Disusul penduduk berpendapatan Rp 1,8 juta-3 juta (46,77%) dan penduduk berpendapatan Rp 3 juta-4,8 juta (37,19%). Sebaliknya, hanya sekitar 30% penduduk berpendapatan di atas Rp 5 juta yang pendapatannya turun.
Berbeda dengan KDRT/RP, dalam ranah komunitas perempuan paling banyak mengalami kekerasan seksual (193 laporan). Jenis kekerasan seksual terbanyak di ranah ini adalah ancaman penyebaran foto/video porno atau revenge porn (81 laporan).
“Karena semakin banyak kegiatan lewat online,” kata Alimatul.
Komnas Perempuan mencatat total kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 354 kasus sepanjang Januari-Mei 2020 di semua ranah. Jumlah ini sudah lebih banyak dari total laporan pada 2019, 281 kasus.
Salah satu korban yang mengalami KBGO saat pandemi Covid-19 adalah Nira (bukan nama sebenarnya). Melansir Magdalene.co, siswi kelas satu SMA ini kerap mendapatkan pesan gambar penis dan video onani ke akun Line miliknya, khususnya saat sekolah diliburkan demi PSBB. Ia adalah salah satu pengadu ke Komnas Perempuan.
Selain itu, data menunjukkan jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas terjadi di hampir semua tempat. Artinya, ruang perempuan untuk hidup aman semakin sempit. Ini merupakan sebuah kemunduran, mengingat bisa semakin membatasi aktivitas perempuan. Sementara, semua jenis kelamin berhak untuk beraktivitas dengan aman dan nyaman.
Berkaca kepada data tersebut, Komnas Perempuan mendesak pemerintah dan DPR untuk mengembalikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ke program legislasi nasional (prolegnas) 2020. Beleid ini dinilai mampu menjadi regulasi bagi perlindungan terhadap perempuan di ranah komunitas.
“Kalau KDRT atau personal kan sudah ada payung hukumnya. Komunitas ini angkanya banyak tapi belum ada (payung hukumnya),” kata Alimatul.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI telah menerbitkan Protokol Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Pandemi. Korban bisa mengadukan kekerasan secara daring melalui telepon, WhatsApp, dan surel petugas penerima pengaduan. Begitupun secara tatap muka ke kantor pengaduan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi