DPR periode 2019-2024 telah bekerja selama setahun sejak dilantik pada 1 Oktober 2019. Namun, secara kinerja legislasi baru berhasil mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) dari total 37 yang dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas).
Ketiga RUU yang berhasil disahkan, yakni: Mineral dan Batubara atau Minerba (12 Mei 2020), Bea Materai (26 September 2020), dan Omnibus Law Cipta Kerja (5 Oktober 2020).
Di luar prolegnas, DPR mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 menjadi UU pada 12 Mei 2020. Beleid ini untuk mengisi kekosongan peraturan terkait pandemi Covid-19 yang merebak di negeri ini mulai 2 Maret 2020.
Lalu, pada 24 Agustus 2020 muncul pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi (MK). Beleid ini adalah usulan pemerintah. DPR mengesahkannya sebagai UU pada 1 September 2020.
Kinerja tersebut sama dengan DPR periode 2014-2019 yang mengesahkan tiga RUU dari 40 daftar prolegnas. Ketiganya, yakni: Penyandang Disabilitas (5 Oktober 2015), Perlindungan Pekerja di Luar Negeri (7 September 2015), dan Penjaminan (17 Desember 2015). Artinya secara kuantitas stagnan.
Dari seluruh RUU yang disahkan, tiga menuai penolakan dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama, UU Minerba yang digugat sejumlah kelompok pada Juli lalu. Salah dua penggugat adalah Hamdan Zoelva dari Perkumpulan Serikat Islam dan Marwan Batubara dari Indonesian Resources Studies. Keduanya menilai beleid ini berpotensi merusak lingkungan dan menciptakan ketimpangan antar pengusaha. Sidang perdana berlangsung hari ini (10/7) dengan tak dihadiri DPR.
Kedua, UU MK yang ditolak LSM Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif. Mereka menyoroti Pasal 23 yang mengubah masa jabatan hakim MK dari lima tahun dan maksimal dua periode masa jabatan menjadi sampai batas usia 70 tahun.
“Ini berbau barter politik dan berpotensi berbenturan dengan pelaksanaan kewenangan MK,” kata Koorbid Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif, Violla Reininda, Rabu (2/9) lalu. Ia juga akan menggugat beleid ini ke MK bersama dengan Koalisi Save Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menjadi usulan pemerintah. Beleid ini ditolak kelompok buruh, salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang mempersoalkan pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan. Antara lain Pasal 42 yang mengatur tentang tenaga kerja asing, Pasal 66 yang mengatur outsourcing, dan Pasal 88 yang mengatur tentang pengupahan. Seluruhnya dinilai bisa merugikan pekerja/buruh.
Penolakan lain adalah dari keompok pemuka agama melalui petisi di situs change.org yang diunggah pada Senin (5/10) lalu. Sampai pukul 07.50 WIB telah 1,2 juta orang menandatanganinya. Beberapa tokoh agama yang menginisiasi adalah Busyro Muqoddas, Pdt. Merry Kolimon, Ulil Absar Abdalla, dan Roy Murtadho.
Selanjutnya, penolakan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mereka menolak seluruh isi Omnibus Law Ciptaker. Sekjen KPA, Dewi Sartika pada Selasa (6/10) menyatakan, akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Demonstrasi besar pun terjadi pada 8 Oktober 2020 di berbagai daerah untuk menolak Omnibus Law Ciptaker. Namun, Presiden Jokowi dalam pidatonya sehari setelah aksi massa menyatakan akan tetap memepertahankan beleid ini. Ia pun menyebut para demonstran telah tersulut hoaks sehingga salah kaprah dengan isinya.
DPR juga hampir mengesahkan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang merupakan usulan pemerintah. Beleid ini ditolak sejumlah ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Hal ini lantaran beberapa pasal di dalamnya dinilai bertentangan dengan keyakinan umat Islam dan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, pemerintah akhirnya mencabut draf RUU tersebut.
“Penolakan dan gugatan itu menunjukkan hasil kerja legislasi DPR buruk kualitasnya,” kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus kepada Katadata.co.id, Rabu (7/10).
Lucius menilai hal itu tak lepas dari proses pembahasan dan penyusunan UU yang buruk, seperti kurang mengakomodasi suara masyarakat. Ia mencontohkan aspirasi kelompok buruh agar pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan di Omnibus Law Cipta Kerja tetap mengacu kepada UU Ketenagakerjaan, tapi pemerintah dan DPR tak mengakomodasinya. Padahal buruh juga terkait langsung dengan beleid itu.
Sehingga, kata Lucius, pertemuan dengan elemen masyarakat yang termasuk dalam proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkesan seperti formalitas belaka. Demi menggugurkan kewajiban dan tata tertib penyusunan UU, bukan benar-benar mendengarkan aspirasi mereka.
Lucius juga menyoroti waktu pembahasan yang cenderung dikebut. Misalnya UU MK yang hanya dibahas dalam waktu tujuh hari kerja mulai 24-31 Agustus 2020. Pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) juga dilakukan panitia kerja (panja) secara tertutup pada 26-29 Agustus 2020.
“Rancangan-rancangan itu kan masih kontroversial, tapi dikebut. Rupanya pembahasan kilat tidak menunjukkan DPR semakin rajin dan produktif, tapi justru semakin mengabdi pada kepentingan elite,” kata Lucius.
Perlakuan berbeda, kata Lucius, justru terhadap RUU yang benar-benar dibutuhkan dan menjadi aspirasi publik. Ia mencontohkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Sistem Kesehatan Nasional yang justru dikeluarkan dari prolegnas 2020. Padahal keduanya saat ini mendesak disahkan.
“Saya kira kualitas UU yang dihasilkan DPR periode ini memang sangat kontroversial,” kata Lucius.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi