Advertisement
Advertisement
Analisis | Wajah Baru Industri Musik di Era Digital - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Wajah Baru Industri Musik di Era Digital

Foto: 123RF
Jumlah pelanggan layanan streaming musik melonjak saat pandemi. Indonesia termasuk empat negara di Asia yang punya potensi besar pasar musik digital.
Author's Photo
21 Desember 2020, 11.28
Button AI Summarize

Suyoso Karsono, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mendirikan label rekaman bernama Irama pada 1951. Ini menjadikannya orang Indonesia pertama yang memiliki label rekaman. Sederet musisi, seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, sampai Jack Lesmana pernah merekam karya mereka di perusahaannya.

Namun, usia Irama tak berlangsung lama. Perusahaan ini tutup pada 1967 karena terbelit masalah keuangan lantaran lebih memilih merekam musik tak popular di pasaran. Salah satu produk legendaris yang pernah direkam di Irama adalah karya pianis jazz Nick Mamahit.

Kisah Irama termaktub dalam buku 100 Tahun Musik Indonesia karya Denny Sakrie. Menjadi penanda perjalanan industri rekaman dan era awal produksi rilisan fisik di negeri ini. Belakangan, industri musik Indonesia dan dunia telah berubah ke digital. Pandemi Covid-19 pun semakin mempercepat perubahan tersebut.

Perkembangan Musik Digital di Dunia dan Indonesia

World Economic Forum (WEF) dan PricewaterhouseCoopers (PwC) dalam laporannya menyebut sejak 2019 rekaman dalam pelbagai bentuknya—unduhan digital, penjualan album secara fisik, lisensi musik untuk film, iklan, dan gim—mendominasi sumber pendapatan industri musik global. Menggeser sumber penampilan langsung atau konser yang sebelumnya selalu mendominasi pemasukan ke industri.

WEF dan PwC memproyeksikan pada 2019 rekaman menyumbang US$ 28,8 miliar atau Rp 406,1 triliun dengan kurs Rp 14.100/US$ terhadap total pendapatan industri musik dunia. Sedangkan, konser menghasilkan lebih sedikit: US$ 27 miliar yang setara dengan Rp 380,7 triliun. Tren ini diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang.

Seiring dengan maraknya pembajakan dan perkembangan teknologi, kini label rekaman dan konsumen juga mulai mengadopsi layanan siaran langsung atau streaming untuk merekam dan menikmati musik. Layanan ini bahkan berkontribusi hampir setengah dari total pendapatan industri musik global.

Berdasarkan data International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dan WEF, layanan streaming musik mampu meraup US$ 8,9 miliar yang setara Rp 125,5 triliun dan berkontribusi 47% terhadap total pendapatan industri secara global. Kontribusi tersebut meningkat pesat dari 2013 yang hanya 9% dengan nilai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 19,7 triliun.

Peningkatan pesat kontribusi layanan streaming terhadap total pendapatan industri musik global tak lepas dari jumlah penikmat yang terus berkembang. McKinsey & Company memproyeksikan pengguna layanan streaming musik di Asia mencapai 87 juta pada 2020. Meningkat hampir dua kali lipat dari 2015 yang sebanyak 47 juta orang.

Pengguna layanan streaming musik kebanyakan berusia muda. Dalam laporan 2016 lalu, penyedia layanan streaming musik JOOX menyebut lebih dari 80% pengguna di Asia Tenggara berusia di bawah 35 tahun. Hal ini menunjukkan anak muda bakal menjadi pasar potensial bagi pelaku layanan streaming musik ke depannya.

JOOX menangkap potensi tersebut dengan memosisikan diri sebagai penyedia layanan yang menyenangkan, digital, dan berjiwa muda.   

Pasar musik digital Asia sebetulnya tergolong kecil secara global. Hanya menyumbang 14% dari total pendapatan industri musik global. Meski demikian, Asia tetap menjadi lahan basah bagi penyedia layanan musik digital lantaran memiliki 44% dari total pengguna internet dunia pada 2015. Asia juga berkontribusi 25% terhadap PDB global pada 2013.  

Indonesia berada di posisi ketujuh pasar musik digital terbesar di Asia dengan potensi pendapatan mencapai US$ 21 juta pada 2015. Posisi pertama ditempati Jepang dengan potensi pendapatan sebesar US$ 432 juta.

Akan tetapi, pada 2016 McKinsey & Company menyebut Indonesia sebagai bagian empat negara paling potensial untuk industri musik digital selain Thailand, Hong Kong, dan Malaysia. Indonesia berkontribusi terhadap 34,7% pasar JOOX. 9,8% pasar Spotify, dan 10,2% pasar SoundCloud di Asia Tenggara.  

Kondisi tersebut mendorong operator telekomunikasi seluler bekerja sama dengan peneyedia layanan musik. Mereka menawarkan paket data layanan streaming musik untuk mengerek pendapatannya. Keuntungan di pihak penyedia layanan adalah peningkatan kesadaran merek. Kerja ini pun menjadi instrumen monetisasi musik digital.  

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi