• Pemerintah menyalurkan BLT Rp 600.000 per keluarga penerima sebagai bantalan kelompok masyarakat miskin menjelang penaikan harga BBM.
  • Sejumlah ekonom memprediksi program ini tidak akan mampu mengimbangi laju inflasi di sektor pangan yang sudah sangat tinggi.
  • Efek jangka panjang akibat kenaikan harga BBM diperkirakan berlangsung lama melampaui program BLT yang hanya empat bulan. 

Sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi semakin kuat dari hari ke hari. Para menteri silih berganti melemparkan kode keras soal betapa beratnya beban subsidi yang ditanggung negara.

Pekan lalu, Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke level 3,75 %. Risiko inflasi akibat kenaikan BBM menjadi salah satu faktor pemicunya. Menteri Keuangan Sri Mulyani sejatinya sempat menyebut BI punya ruang untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 100 bps. Namun kenaikan BI Repo Rate 25 bps masih dianggap cukup untuk meredam gejolak ekonomi akibat kenaikan BBM.

Advertisement

Tidak hanya di ranah moneter, pemerintah juga sudah menganggarkan Rp 24 triliun untuk program bantuan langsung tunai (BLT). Saat mengumumkan program ini pada Senin (29/8), Sri Mulyani menyebutkan BLT akan disalurkan kepada 20,69 juta penerima. Masing-masing penerima bakal memperoleh Rp 600.000 dan akan berlaku mulai 1 September 2022.

Alasan Sri Mulyani, “Untuk meningkatkan daya beli masyarakat.”

Program BLT memang bukan senjata baru untuk meredam gejolak akibat kenaikan harga BBM. Inisiatif ini sudah dimulai sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kala itu, setiap kali SBY memangkas subsidi BBM, pemerintah akan mengguyur rakyat kecil dengan sejumlah uang tunai.

Kebijakan ini bukan tanpa kontroversi. Kritik paling keras bahkan datang dari PDI-P yang kini berkuasa. Megawati pernah menyebut BLT membuat masyarakat Indonesia menjadi mental pengemis.

PRESIDEN KUNJUNGI PASAR TRADISIONAL DI SERANG
PRESIDEN KUNJUNGI PASAR TRADISIONAL DI SERANG (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.) 

Mengimbangi Inflasi

Kenaikan harga BBM selalu menjadi isu panas bagi masyarakat Indonesia. Pangkal soalnya, efek harga BBM naik memicu lonjakan harga bahan pokok, bahkan sebelum besaran kenaikan harga ditetapkan.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Mahendra Rianto menyebutkan kenaikan harga solar subsidi, misalnya, berkontribusi hingga 40 % terhadap biaya logistik dalam negeri. Tidak heran jika ancaman inflasi siap mengintai di tengah potensi kenaikan harga BBM. 

Sektor transportasi merupakan sektor yang bakal paling terdampak dengan kenaikan harga BBM. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) indeks harga konsumen (IHK) kelompok pengeluaran transportasi berada di level 109,97 pada Juli 2022.

Jika dibandingkan dengan posisi Juli 2021, inflasi sektor transportasi mencapai 6,65 % (year on year/yoy). Demikian pula jika dibandingkan dengan posisi Desember 2021, sektor transportasi mengalami inflasi sebesar 5,09 % (year to date/ytd).

Sementara itu, pada bulan lalu IHK sudah mencapai 4,94 % yang merupakan rekor tertinggi sejak Oktober 2015. Sejumlah ekonom yang dihubungi Katadata.co.id meyakini kenaikan harga BBM akan mengerek laju inflasi yang saat ini sudah cukup tinggi.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menghitung, jika BBM naik 30 %, ia memprediksi inflasi tahun ini bisa tembus 8 %. Terakhir kali inflasi Indonesia mencapai 8,3 % terjadi pada Desember 2014. "Setiap kenaikan harga BBM 10 % akan menambah inflasi satu poin persentase,” katanya kepada Katadata. 

Hitung-hitungan lain dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga tidak kalah mengkhawatirkan. Ia menyebutkan jika Pertalite naik menjadi Rp 10.000, inflasi sebesar 6 -7 % nyaris tidak terhindarkan. "Setiap kenaikan Rp 1.000 per liter dampak inflasinya sekitar 0,4 poin presentasi," kata Josua kepada Katadata.co.id, Senin (22/8).

Inflasi jelas bukan sekadar angka statistik di atas kertas. Di lapangan, harga sejumlah bahan pokok memang sudah terpantau naik beberapa waktu terakhir. Harga telur tembus rekor tertinggi hingga Rp 31.000 per kilogram.

Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, Reynaldi Sarijowan mengatakan, awalnya kenaikan harga telur dipicu oleh harga bansos. Namun, meskipun bansos sudah didistribusikan sejak awal Agustus, harga telur tidak juga mengalami penurunan bahkan semakin naik. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora, Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement