Tindak Pidana Perpajakan Pasal 39 UU KUP, Subjek, Jenis, dan Sanksinya

Image title
27 November 2023, 09:30
Tindak Pidana Perpajakan
Freepik
Ilustrasi, tindak pidana perpajakan.

Dalam konteks hukum pidana, terdapat kejahatan yang disebabkan karena kesengajaan. Ini merupakan kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan undang-undang (UU). Hal ini juga berlaku dalam tindak pidana perpajakan.

Memang. secara yuridis formal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, tidak ada pasal yang memberikan batasan atau pengertian kesengajaan. Namun, dalam KUHP Belanda Memory Van Toelichting, kesengajaan diartikan sebagai menghendaki dan mengetahui atau willen en wetens.

Dalam konteks tindak pidana perpajakan, kejahatan yang terjadi dapat disebabkan karena adanya niat (mens rea) pelaku, yakni kealpaan dan kesengajaan. Aturan terkait tindak pidana perpajakan berupa kesengajaan, termaktub dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), UU Bea Meterai, serta UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).

Dalam UU KUP sendiri, tindak pidana perpajakan karena sebab kesengajaan, diatur dalam Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41 ayat (2), Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C. Ulasan berikut ini, akan membahas tindak pidana perpajakan yang tercantum dalam UU KUP. Secara spesifik, terkait ketentuan yang tercantum dalam Pasal 39 UU KUP.

Subjek Tindak Pidana Perpajakan dalam Pasal 39 UU KUP

Dalam Pasal 39 KUP, tindak pidana perpajakan yang dilakukan dengan sebab kesengajaan memiliki subjek "setiap orang". Penjelasan lebih detail mengenai apa yang dimaksud dengan "setiap orang", tercantum dalam Pasal 43 UU KUP.

Dalam pasal tersebut, "setiap orang" yang dapat dijatuhi pidana di bidang perpajakan, mencakup wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, serta atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Bisa disimpulkan, pihak yang dapat dipidana atas perbuatan tindak pidana perpajakan, tidak terbatas pada wajib pajak yang melakukan pelanggaran, wakil dan kuasa wajib pajak, pegawai Wajib Pajak, akuntan Publik, konsultan Pajak, atau pihak lain.

Melainkan, juga pihak-pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana perpajakan.

Jenis Tindak Pidana Perpajakan yang Tercantum dalam Pasal 39 UU KUP

Terkait dengan Pasal 39 UU KUP, terdapat sembilan bentuk atau jenis tindak pidana perpajakan yang diatur. Atas sembilan jenis tindakan kejahatan ini, sanksi yang dijatuhkan tergolong berat. Ini mengingat, besarnya perananan penerimaan perpajakan bagi negara.

Adapun, kesembilan jenis pelanggaran/kejahatan yang termasuk dalam tindak pidana perpajakan sesuai dengan Pasal 39 UU KUP, adalah sebagai berikut:

1. Sengaja Tidak Mendaftarkan Diri atau Tidak Melaporkan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai PKP

Dalam Pasal 2 UU KUP, telah disebutkan secara jelas, bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, wajib mendaftar untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

Syarat subjektif terpenuhi, jika wajib pajak telah memenuhi kriteria subjek pajak dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan, syarat objektif terpenuhi ketika subjek pajak sudah memiliki penghasilan melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP), atau telah memenuhi kriteria, di mana pihak tersebut wajib melakuan pemotongan atau pemungutan pajak.

2. Menyalahgunakan atau Menggunakan Tanpa Hak NPWP atau Pengukuhan PKP

Bentuk pelanggaran dalam tindak pidana perpajakan, salah satunya adalah ketika wajib pajak telah dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, wajib pajak menerbitkan faktur pajak tidak sah, atau tidak menampilkan transaksi yang sebenarnya.

3. Sengaja Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan

Seperti diketahui, setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas, serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU KUP. Sehingga, jika wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan, sengaja melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 3 UU KUP, maka perbuatan tersebut akan dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan.

4. Sengaja Menyampaikan SPT yang Isinya Tidak Benar atau Tidak Lengkap.

Masih berkaitan dengan Pasal 3 ayat (1) UU KUP, dalam sistem perpajakan Indonesia, wajib pajak harus mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas.

Kata "benar" yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU KUP ini, adalah mencatat sesuai dengan perhitungan yang benar, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Termasuk dalam hal penulisan, serta sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Sementara, yang dimaksud dengan "lengkap" adalah, pengisian SPT dilakukan dengan menyertakan seluruh unsur yang berkaitan dengan objek pajak. Demikian pula unsur-unsur lain, juga harus dilaporkan dalam SPT.

Kemudian, kata "jelas" mengacu pada pelaporan terkait asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain, yang harus dilaporkan dalam SPT.

5. Sengaja Menolak Pemeriksaan

Seperti diketahui, DJP memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Hal ini dilakukan, untuk menguji kepatuhan perpajakan wajib pajak dalam memenuhi ketentuan di bidang perpajakan.

Nah, jika wajib pajak dengan sengaja menolak pemeriksaan yang akan dilakukan oleh DJP, maka wajib pajak tersebut dapat dikenakan sanksi terkait tindak pidana perpajakan.

6. Sengaja Memperlihatkan Pembukuan, Pencatatan atau Dokumen Lain yang Palsu

Dalam Pasal 28 UU KUP, telah secara tegas disebutkan, bahwa wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, serta wajib pajak badan yang beroperasi di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Pembukuan atau pencatatan yang dibuat tersebut, harus dilakukan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

Tindak pidana perpajakan, dapat dijatuhkan apabila wajib pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Ini karena tindakan yang sengaja dilakukan tersebut, menyebabkan kerugian pada negara dalam hal penerimaan perpajakan.

7. Wajib Pajak Sengaja Tidak Menyelenggarakan Pembukuan atau Pencatatan di Indonesia

Jika wajib pajak sengaja tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain, maka bisa dikenakan sanksi pidana, sesuai dengan peraturan mengenai tindak pidana perpajakan.

8. Sengaja Tidak Menyimpan Catatan yang Menjadi Dasar Pembukuan

Wajib pajak juga bisa dikenakan sanksi tindak pidana perpajakan, jika dengan sengaja tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain.

Ini termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan menggunakan aplikasi online.

Sanksi dapat dijatuhkan, karena Pasal 28 ayat (11) secara jelas menyebutkan, bahwa buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia.

9. Sengaja Tidak Menyetorkan Pajak yang Telah Dipungut

Seperti diketahui, sistem perpajakan Indonesia menganut sistem withholding tax, yakni skema pemotongan atau pemungutan pajak. Contohnya, pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

Jika wajib pajak yang berperan sebagai pemotong atau pemungut pajak tersebut, tidak menyetorkan hasilnya kepada negara, maka dapat dijatuhi sanksi berat sesuai dengan peraturan di bidang tindak pidana perpajakan.

Jenis Sanksi Tindak Pidana Perpajakan Berdasarkan Pasal 39 UU KUP

Terkait tindak pidana perpajakan yang tercantum dalam Pasal 39 UU KUP, sanksi yang dikenakan terdiri dari dua jenis, yakni sanksi pidana denda dan sanksi pidana penjara.

Sebagai informasi, sanksi pidana penjara yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan denda. Begitu pula sebaliknya, karena pemberian sanksi tindak pidana perpajakan ini menggunakan kata "dan", sehingga berlaku kumulatif.

PasalBentuk Sanksi
Pasal 39 ayat (1)- Pidana penjara paling sedikit 6 bulan, dan paling lama 6 tahun
- Pidana denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali dari jumlah pajak yang terutang atau kurang bayar
Pasal 39 ayat (3)- Pidana penjara paling sedikit 6 bulan, dan paling lama 2 tahun
- Pidana denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali dari jumlah restitusi yang dimohonkan atau kompensasi dan pengkreditan yang dilakukan.

Demikianlah ulasan mengenai tindak pidana perpajakan pasal 39 UU KUP. Meski UU ini telah diubah menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HUP, ketentuan yang tertera dalam Pasal 39 UU KUP tidak mengalami perubahan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...