Kuota BBM Subsidi Makin Tipis, Perlu Cegah Kelangkaan di Akhir Tahun

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.
Sejumlah kendaraan antre mengisi BBM jenis Pertalite dan Pertamax di salah satu SPBU, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/8/2022).
15/8/2022, 16.00 WIB

Sejumlah pengamat menilai pemerintah harus menambah jumlah kuota BBM bersubsidi Pertalite untuk mengantisipasi kelangkaan di SPBU. Selain itu, Pemeritah juga diminta untuk memperkecil disparitas harga antara Pertalite dan Pertamax.

Caranya yaitu dengan menaikkan harga Pertalite namun di saat yang sama menurunkan harga Pertamax. Pakar Ekonomi Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan langkah ini merupakah salah satu cara untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi energi yang mencapai lebih Rp 500 triliun.

"Beban APBN subsidi energi sudah sangat besar, mungkin bisa Rp 600 triliun. Saya setuju harga Pertalite dinaikkan dengan catatan harga Pertamax diturunkan sehingga disparitas harga bisa Rp 1.500. Dengan ini, konsumen Pertalite akan migrasi ke Pertamax," kata Fahmy kepada Katadata.co.id, Senin (15/8).

Fahmy pun sependapat dengan usulan Komisi VII dan Kementerian ESDM yang mengajukan penambahan kuota Pertalite sebanyak 5 juta kilo liter menjadi 28 juta kl. Ia menilai, langkah ini untuk menutup potensi kelangkaan Pertalite di SPBU.

Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Dia menilai, pemerintah perlu menambah jumlah kuota BBM Pertalite untuk mencegah kelangkaan di SPBU. Namun, kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar akan memicu inflasi.

Alih-alih menaikkan harga BBM bersubsisi, Bhima meminta pemerintah untuk memperketat pengawasan distribusi BBM bersubsidi sehingga dapat menambal kebocoran yang selama ini mengalir kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar dan kendaraan pribadi.

"Karena jumlah angkutan jauh lebih sedikit dibanding mobil pribadi. Penghematan dari pengawasan distribusi cukup membantu penghematan anggaran," kata Bhima.

Bhima juga menyoroti pemerintah agar menunda proyek infrastruktur Ibu Kota Nusantara (IKN), Bendungan Bener dan pengembangan sejumlah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dana infrastruktur bisa dialokasikan untuk menambah besaran subsidi energi.

"Pemerintah juga dibekali dengan UU darurat keuangan dimana pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR. Jadi lebih cepat dilakukan perombakan ulang APBN semakin baik," ujar Bhima.

Sementara itu, Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman menyebut harga BBM jenis Pertalite layak dinaikkan. Akan tetapi, Dia tidak menerangkan berapa besaran kenaikkan harga yang layak. "Ya kan harga jual Pertalite saat ini belum mencerminkan harga keekonomian," ujar Saleh.

Berdasarkan formulasi perhitungan yang dilakukan oleh Pertamina pada Juli 2022, harga keekonomian Solar adalah Rp 18.150 per liter, sedangkan harga jual masih Rp 5.150 per liter. Kondisi ini membuat pemerintah harus membayar subsidi Solar Rp 13.000 per liter.

Sementara itu, harga keekonomian BBM bersubsidi Pertalite berada pada angka Rp 18.150 per liter. Pertamina menjual Pertalite Rp 7.650 per liter, sehingga setiap liter Pertalite yang dibeli oleh masyarakat mendapatkan subsidi Rp 9.550 per liter dari pemerintah.

Harga keekonomian produk BBM nosubsidi jenis Pertamax adalah senilai Rp 17.950 per liter. Pertamina masih mematok harga Pertamax Rp 12.500 per liter, sedangkan perusahaan kompetitor sudah menetapkan harga produk sekitar Rp 17.000 per liter.

Saleh menyampaikan bahwa keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pastinya sudah mempertimbangkan berbagai aspek seperti inflasi dan daya beli masyarakat. "Tentu sudah dipertimbangkan, apakah (harga Pertalite) naik atau tetap," ujarnya.

Tambahan Kuota Pertalite Masih Dipertimbangkan

Adapun Komisi VII DPR dan Kementerian ESDM menyetujui penambahan kuota BBM bersubsidi Pertalite tahun ini sebesar 5 juta kl, sehingga total kuota menjadi 28 juta kl. Tambahan kuota ini didorong oleh melonjaknya komsumsi usai pandemi Covid-19 mereda.

Menanggapi kabar tersebut, Saleh mengatakan belum ada hasil keputusan maupun kesepakatan soal penambahan kuota Pertalite. "Betul diajukan, masih nunggu Kementerian Keuangan. Belum ada keputusan," jelas Saleh.

Hingga Juli Pertamina telah menyalurkan 16,8 juta kilo liter (kl) Pertalite dari total kuota 23 juta kl hingga akhir tahun atau sekitar 73%. Sehingga saat ini tersisa 27% atau 6,2 juta kl yang diharap bisa memenuhi permintaan hingga Desember 2022.

Sementara untuk solar bersubdisi, Pertamina sudah menyalurkan 66,4% atau 9,9 juta kl dari total kuota 14,9 juta kl tahun ini. Sehingga tersisa 33,6% 5 juta kl sampai akhir tahun. Jika dirata-rata hingga Juli, konsumsi Pertalite mencapai 2,4 juta kl per bulan, sedangkan Solar 1,41 juta kl per bulan.

Fahmy mendesak agar pemerintah segera merampungkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mengatur pembatasan BBM bersubsidi.

Ia menyarankan, agar dalam revisi perpres tersebut hanya sepeda motor dan kendaraan angkutan orang dan angkutan barang yang diperbolehkan menggunakan Pertalite dan solar.

"Kalau menggunakan My pertamina itu tidak efektif karena karena berbasis aplikasi padahal masyarakt yang berhak memperoleh itu tidak punya akses, sementara pemilik mobil 1.500 CC itu punya akses dan bisa menikmati subsidi. Pembatasan yang tepat adalah kriteria yang mudah saja, hanya untuk sepeda motor dan kendaraan umum, itu sangat mudah diterapkan," ujarnya.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu