Transisi Energi Berkeadilan Perlu Perhatikan Hidup Masyarakat Marjinal
Transisi energi yang adil tak hanya membicarakan aspek lingkungannya saja, tetapi juga kehidupan masyarakat yang termarjinalkan atau terpinggirkan.
Terdapat sejumlah agenda transisi energi di Indonesia, beberapa di antaranya adalah rencana pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I Cirebon, Jawa Barat pada 2035 dan pembangunan energi terbarukan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia, rencana baik transisi energi perlu dilengkapi mitigasi, khususnya kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan informal di sekitar PLTU. VCA menilai, nelayan dan perempuan menjadi kelompok paling rentan.
Dampak itu turut disampaikan Aan Anwaruddin, Koordinator Rakyat Peduli Lingkungan (Rapel) Cirebon. Selain perubahan pada kondisi fisik lingkungan, ruang hidup masyarakat juga tercerabut. Aan bahkan mengakui bahwa pembangunan PLTU I Cirebon lebih banyak memberikan dampak buruk bagi warga ketimbang manfaatnya.
"Ada banyak konflik hingga intimidasi yang masyarakat terima saat menolak pembangunan PLTU," kata Aan dalam Dialog Nasional Cerita dan Aspirasi Kelompok Masyarakat Marginal dan Informal dalam Transisi Energi yang Berkeadilan oleh VCA di Taman Ismail Marzuki, Minggu (23/6/2024).
Diketahui, pembangkit itu dibangun pada 1 Mei 2008 di bawah pengoperasian CEP, sebuah konsorsium multinasional yang yang terdiri atas Marubeni Corporation, Indika Energy, Korean Midland Power (KOMIPO), dan Samtan Corporation. Kabar pemensiunan dini PLTU ini kontan menjadi angin segar bagi Aan dan masyarakat Cirebon.
Merespons hal tersebut, Andi Yulianti Ramli, Asisten Deputi Industri Pendukung Infrastruktur Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) menyatakan transisi energi, termasuk pemensiunan dini PLTU, merupakan jalan yang panjang. Dia mengatakan biayanya pun tak sedikit.
"Biaya transisi PLTU mencapai US$1,2 miliar," kata Noya, sapaannya, dalam sesi yang sama. Satu sisi, Noya mendorong transisi energi melalui elektrifikasi kendaraan.
Cerita berbeda datang dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Oce dari komunitas Humba Hamu mengaku bahwa energi fosil seperti BBM tergolong mahal dan sulit didapatkan di daerahnya. Namun ketika ada gerakan untuk bertransisi ke energi terbarukan, masyarakat merasakan dampaknya.
Manfaat itu di antaranya adanya kenaikan produktivitas lahan pertanian, terpenuhinya kebutuhan sehari-hari warga, hingga terbukanya akses lapangan kerja baru bagi para pemuda sebagai operator untuk pemasangan dan perawatan panel-panel surya.
Inisiatif Oce dan kawan-kawan sebenarnya fokus untuk membuka akses masyarakat, terutama kelompok perempuan, dengan pemerintah. Baginya, transisi energi harus sepaket dengan pemberdayaan semua kelompok yang ada di masyarakat.
Tak hanya Humba Hammu, aksi transisi energi untuk menanggulangi perubahan iklim juga dilakukan sejumlah orang daerah di NTT. VCA mendokumentasikannya melalui empat film pendek "Climate Witness".
Produser “Climate Witness”, Ridwan Arif sekaligus Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, mengatakan bahwa film tersebut hadir untuk mengamplifikasi dan menggaungkan suara masyarakat yang selama ini terdampak krisis iklim, namun memiliki berbagai solusi berbasis kearifan lokal.
“Semangat dari film ini adalah menyebarkan kisah-kisah inspiratif masyarakat dalam beradaptasi dengan krisis iklim. Film ini juga sebagai bentuk apresiasi kepada para tokoh yang sudah melakukan aksi nyata dalam menjaga lingkungan hidup mereka,” katanya dalam acara yang sama.