Malaysia Panggil Perusahaan yang Terancam Diblokir AS soal Kerja Paksa

ANTARA FOTO/REUTERS/Lim Huey Teng/hp/dj
Petugas wanita menyemprotkan desinfektan di sebuah pasar, yang ditutup saat pengendalian pergerakan untuk menghambat penularan virus corona (COVID-19), di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (24/3/2020).
Penulis: Desy Setyowati
30/1/2022, 16.12 WIB

Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia mengatakan akan memanggil semua perusahaan yang menghadapi larangan impor Amerika Serikat (AS). Blokir ini terkait dugaan praktik kerja paksa.

“Sedangkan pertemuan dengan kementerian untuk membahas tindakan segera guna mengatasi tuduhan tersebut,” demikian dikutip dari Reuters, Minggu (30/1).

AS meningkatkan pengawasan terhadap pabrik-pabrik di Malaysia, yang meliputi pemasok utama minyak sawit dan sarung tangan medis, terkait tuduhan pelecehan terhadap pekerja migran.

Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) mengatakan bakal melarang impor pembuat sarung tangan sekali pakai YTY Group. Perusahaan ini disebut menerapkan kerja paksa.

CBP mengidentifikasi tujuh dari 11 indikator kerja paksa berdasarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) selama investigasi terhadap YTY Group. Ini termasuk intimidasi, ancaman, jeratan utang, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam, serta lembur berlebihan.

Larangan itu berlaku efektif mulai Jumat (27/1). Badan itu akan menahan barang-barang buatan YTY Group Malaysia dan unitnya, yakni YTY Industry Sdn.Bhd, Green Prospect Sdn Bhd dan GP Lumut, di seluruh pintu masuk AS.

Itu merupakan larangan ketujuh yang menimpa perusahaan Malaysia dalam dua tahun.

CBP sebelumnya menetapkan bahwa produsen minyak kelapa sawit Malaysia Sime Darby Plantation Bhd (SIPL.KL) menerapkan sistem kerja paksa dalam operasinya.

Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M Saravanan mengatakan, akan bertemu dengan semua perusahaan yang menghadapi larangan impor di Amerika Serikat, termasuk WRP Asia Pasifik dan Top Glove Corp.

Ia juga memerintahkan penyelidikan segera atas tuduhan dan memperingatkan tindakan tegas terhadap perusahaan yang terbukti bersalah. Perusahaan bakal diminta untuk memperbaiki praktik kerja.

Saravanan menyampaikan, tuduhan kerja paksa terhadap perusahaan Malaysia memengaruhi kepercayaan investor di negara tersebut.

Tahun lalu, Malaysia pun mengumumkan Rencana Aksi Nasional tentang Kerja Paksa untuk menghapus praktik-praktik kasar seperti jeratan hutang, asrama yang tidak higienis bagi pekerja, dan lembur berlebihan, pada 2030.