Denda Pelaku Monopoli Diperberat dalam PP Persaingan Usaha UU Ciptaker

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Para Investigator KPPU mendengarkan keterangan saksi, Ketua DPD Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) Sumut David Siagian (tengah) dalam sidang dugaan praktik usaha tidak sehat antara mitra driver individu dengan PT Solusi Transportasi Indonesia (Grab Indonesia) dan PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI), di Medan, Rabu (20/11/2019).
Penulis: Happy Fajrian
2/3/2021, 07.18 WIB

Nilai penjualan untuk perhitungan sanksi denda pun ditetapkan berdasarkan nilai sebelum pengenaan pajak atau pungutan negara yang terkait langsung dengan penjualan barang/jasa pada pasar bersangkutan.

Untuk penghitungan berdasarkan jangka waktu, jika pelanggarannya dilakukan kurang dari 6 bulan, maka akan diperhitungkan sebagai setengah tahun atau enam bulan. Sebaliknya jika lebih dari enam bulan tapi kurang dari 1 tahun, maka akan dihitung 1 tahun penuh.

“Komisi (KPPU) selanjutnya dapat menggunakan koefisien tertentu dalam menentukan jangka waktu pelanggaran per bulan, dalam jangka waktu pelanggaran selama 1 tahun tersebut,” tulis penjelasan pasal 12 ayat 1.

Dengan penghitungan sanksi seperti ini, maka semakin besar skala usaha perusahaan pelanggar persaingan tidak sehat, maka nominal denda juga akan berpotensi semakin besar.

Misalnya, jika suatu usaha memiliki penjualan hingga Rp 1 triliun, maka denda 10% mencapai Rp 100 miliar, empat kali lipat dari sanksi terberat yang diatur UU Nomor 5/1999.

Ketua KPPU Kodrat Wibowo beberapa waktu lalu mengatakan bahwa sanksi yang jauh lebih berat ini memang untuk mendisiplinkan pelaku usaha agar mematuhi aturan persaingan usaha yang sehat.

“Sanksi yang diberikan sebelumnya tidak cukup untuk memberi efek jera untuk perusahaan menengah dan besar, karena sanksi dipukul rata untuk setiap perusahaan tanpa melihat kemampuan mereka. Apalagi sanksi masih dibagi lagi di antara beberapa pihak yang melanggar, jadi lebih ringan,” ujarnya.

Halaman: