Survei bertajuk Digital Commerce Confidence Index (DCCI) Lazada menunjukkan, penjual online di Asia Tenggara optimistis penjualan meningkat 10% pada kuartal II. Meskipun, sebagian penjual khawatir pertumbuhan ekonomi global.
Survei tersebut digelar pada kuartal I dengan melibatkan 766 penjual online di Asia Tenggara. Hasilnya, 77% responden optimistis penjualan meningkat 10% di kuartal II.
"Ini menunjukkan kepercayaan diri penjual online yang meningkat," kata Chief Strategy Officer Lazada Group Magnus Ekbom dalam siaran pers, Jumat (13/5).
Survei juga menunjukkan bahwa porsi penjual online yang memperkirakan penjualan turun, berkurang. Persentasenya turun dari 12% responden menjadi 7%.
Kepercayaan diri penjual online tersebar di beberapa kategori. Namun pedagang di ketiga sektor ini paling optimistis:
- General merchandise (81%)
- Busana (78%)
- Fast-moving consumer goods (76%)
Magnus menyatakan, kepercayaan diri penjual dipengaruhi oleh peningkatan permintaan barang saat perayaan seperti ramadan dan paskah di negara-negara yang merayakan. Kemudian, musim liburan menjadi pendorong utama pola pandang positif.
Dalam mendukung pertumbuhan penjualan online, 74% pedagang berencana meningkatkan inventaris produk setidaknya 10%. Sedangkan 47% menyatakan akan menambahkan sumber daya manusia.
Meski begitu, sebagian penjual khawatir terhadap kondisi ekonomi global. Ada 23% pedagang yang mengatakan bahwa biaya operasional yang tinggi sebagai tantangan potensial.
Hal itu menggambarkan ketidakpastian dalam pertumbuhan global, seperti meningkatkan tingkat inflasi, ketidakstabilan geopolitik yang berpengaruh terhadap cadangan minyak serta disrupsi terhadap rantai pasok global.
Sebelumnya, Morgan Stanley memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini anjlok menjadi separuh dari realisasi 2021. Ekonomi global terkena dampak konflik Rusia-Ukraina, lonjakan Covid-19 di Cina hingga pengetatan moneter oleh bank sentral global.
Perusahaan keuangan itu memperkirakan, ekonomi global hanya tumbuh 2,9% tahun ini atau sekitar 40 basis poin (bps) di bawah konsensus. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan tahun lalu 6,2%.
"Perlambatan bersifat global, didorong oleh kombinasi dari melemahnya dorongan fiskal, pengetatan kebijakan moneter, hambatan berkelanjutan dari Covid, friksi rantai pasokan yang terus-menerus, dan, yang terbaru, dampak dari invasi Rusia ke Ukraina," kata tim ekonom Morgan Stanley dalam risetnya, dikutip dari Reuters, Selasa (10/5).
Harga komoditas energi meroket setelah Rusia terkena sederet sanksi dari negara-negara Barat. Ini terkait invasi ke Ukraina.
Sanksi tersebut memperburuk tekanan inflasi global. Kondisi ini memaksa bank sentral di seluruh dunia, terutama negara maju mengkaji ulang kebijakan moneter.