Sejumlah perbankan menggandeng perusahaan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) untuk menyalurkan pinjaman kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sedangkan Pintek menilai, sulit menggaet bank untuk memberikan pinjaman ke sektor pendidikan.
Co-founder sekaligus Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono menyampaikan, belum ada bank yang melirik pembiayaan di sektor pendidikan. Namun, ia menyadari bahwa perbankan sangat berhati-hati dalam memberikan kredit.
“Biasanya institusi perbankan prudent, makanya mereka minta jaminan. Sedangkan pendidikan tidak ada jaminannya. Ini jasa. Masuknya sektor konsumsi,” kata Tommy saat peluncuran Pintek Instant, Kamis (15/10).
Ia menyadari bahwa perbankan berfokus memberikan pembiayaan ke sektor produktif seperti UMKM. Selain itu, UMKM berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, sebagaimana tecermin pada Databoks di bawah ini:
Sedangkan ada banyak UMKM, khususnya di daerah, yang sulit dijangkau oleh perbankan. Melalui skema channeling di fintech lending, bank bisa menjangkau pelaku usaha tersebut. Apalagi jumlah UMKM mencapai 60 juta lebih di Indonesia.
Meski begitu, ada banyak pelajar yang membutuhkan biaya pendidikan, khususnya saat pandemi corona. Pintek mencatat, permintaan pinjaman di sektor ini meningkat 10 kali lipat per Juli dibandingkan tahun lalu.
Pintek menyalurkan pinjaman lebih dari Rp 48 miliar kepada sekitar tiga ribu siswa dan 100 institusi pendidikan.
Perusahaan pun meluncurkan produk baru yakni Pintek Instant. Ini berfokus memberikan pembiayaan berupa pembelian ponsel pintar (smartphone) hingga laptop.
"Sekarang kebutuhan pendidikan tidak hanya biaya sekolah atau uang pangkal, tetapi juga membeli ponsel, laptop dan kuota internet," ujar Tommy.
Besaran pinjamannya hingga Rp 5 juta, dengan tenor satu sampai tiga bulan. Bunganya mulai dari 0%, disesuaikan dengan risiko pinjaman.
Sedangkan untuk produk lainnya, Pintek memberikan pinjaman dengan bunga tetap (flat) di bawah 1% per bulan. Selain itu, tanpa agunan untuk sekolah.
Fintech pendidikan lainnya, yakni Cicil juga meluncurkan produk baru yaitu fitur Cicil Jobs di tengah pandemi Covid-19. Namun, layanan ini berfokus untuk menekan kredit macet.
Melalui fitur itu, mahasiswa peminjam dapat melamar pekerjaan sebagai tenaga survei, pengulas UMKM hingga influencer.
Co-Founder sekaligus CEO Cicil Edward Widjonarko mengatakan, kemampuan mahasiswa peminjam membayar cicilan berkurang selama pandemi virus corona. Tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman maksimal 90 hari setelah jatuh tempo atau TKB 90 pun mencapai 97,22% atau kredit macetnya 2,78%.
"Kami harus bertanggung jawab. Bukan hanya kepada mahasiswa, tetapi juga pemberi pinjaman (lender),” kata Edward saat konferensi pers virtual, September lalu (11/9).
Sedangkan beberapa fintech lending di sektor produktif gencar menggaet perbankan, seperti Investree, UangTeman, dan Modal Rakyat. Langkah ini dinilai dapat mendorong penyaluran pinjaman, tetapi tetap menjaga risiko kredit.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong penyelengga fintech lending berkolaborasi dengan perbankan. “Mereka memiliki data riil masyarakat kalangan bawah dan big data terkait masalah UMKM," kata Analis Senior Direktorat Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tomi Joko Irianto, September lalu (29/9).
Apalagi OJK mencatat, penyaluran pinjaman oleh fintech lending ke sektor produktif masih minim, yakni 34% dari total pembiayaan Rp 113,46 triliun per Juni. Mayoritas penyaluran kreditnya menyasar sektor konsumtif yaitu 66%.
OJK sebenarnya sudah membuat aturan yang mewajibkan penyelenggara fintech lending menyalurkan 20% ke sektor produktif. Namun, regulasi ini dinilai tidak cukup.
OJK berharap, dari kolaborasinya dengan perbankan fintech lending bisa menambah dana pinjaman untuk UMKM. Apalagi, di masa pandemi, UMKM banyak yang terpukul. “Harapannya (pinjaman produktif) sampai 60% dari total,” kata Tomi.