Konglomerasi Membidik Bisnis Fintech Pembiayaan

Jakub Jirsak/123rf
Ilustrasi fintech
Penulis: Desy Setyowati
4/1/2021, 16.48 WIB
  • Setidaknya ada delapan konglomerat di Indonesia yang merambah bisnis fintech lending.
  • Korporasi besar diprediksi tetap berinvestasi di fintech lending, meski selektif akibat pandemi Covid-19.
  • Samsung Group dan Alibaba ikut merambah fintech lending di Indonesia.

Industri teknologi finansial pembiayaan atau fintech lending  masih menggiurkan para konglomerat. Sejak dua tahun lalu, tak sedikit taipan Indonesia seperti Grup Djarum, Lippo, Astra hingga Sinar Mas merambah bisnis ini. Di tahun kerbau logam sekarang, korporasi besar diprediksi tetap berminat menggelutinya, namun semakin selektif.

Yang terbaru, fintech lending milik Grup Kawan Lama, Danakini memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada pertengahan bulan lalu (16/12/2020). Dari luar negeri ada modal ventura milik konglomerat Korea Selatan, Samsung Group, yaitu Samsung Venture Investment, berinvestasi di induk Modalku, Funding Societies.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memperkirakan, konglomerat masih berminat untuk merambah fintech lending. “Ini didorong oleh tingginya margin bunga yang ditawarkan oleh fintech,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (4/1).

(BACA JUGA: Peluang Fintech Pertahankan Gelar 'Primadona' Investor pada 2021)

Akan tetapi, korporasi besar bakal lebih selektif berinvestasi maupun memilih model bisnis fintech lending pada 2021. Alasannya, sektor ini terkena dampak pandemi corona.

Berdasarkan data OJK, tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman maksimal 90 hari setelah jatuh tempo atau TKB90 fintech lending per November 2020 92,82%. Ini artinya, kredit macet alias tingkat wanprestasi (TWP) mencapai 7,18%.

Alhasil, sebagian fintech lending memilih untuk selektif dalam menyalurkan kredit. Ini berdampak terhadap penurunan pertumbuhan penyaluran pembiayaan.

“Yang menjadi catatan pada 2021, investor yang mau masuk ke startup fintech semakin selektif. Pertimbangan utamanya tingkat risiko kredit macet atau manajemen risiko tiap fintech. Semakin bagus kualitas pinjaman dan rencana untuk pengembalian modal yang jelas atau rencana bisnis, maka investor pasti masuk,” kata Bhima.

Di satu sisi, OJK berencana menerbitkan aturan baru terkait fintech pembiayaan. Salah satunya, menaikkan modal inti yang harus disetor penyelenggara ketika mengajukan izin dari Rp 2,5 miliar menjadi Rp 15 miliar.

Bhima menilai, hal itu dapat menambah investasi baru di sektor ini. Selain itu, “investor yang sudah ada mendorong merger dan akuisisi baik antar-fintech maupun dengan pemain lain seperti perbankan dan telekomunikasi,” ujarnya.

Tren pendanaan ke startup Indonesia sejak 2017 (DailySocial, DSResearch, CIMB: Fintech Report 2020)

Berdasarkan data DealRoom, Finch Capital, dan MDI Ventures, klaster fintech  lending mendominasi investasi ke sektor ini. Angkanya tertera pada Bagan di bawah ini:

Porsi fintech lending terhadap total pendanaan di sektor fintech Indonesia (Dealroom, Finch Capital, dan MDI Ventures 2020)

Bhima mencatat, banyak konglomerasi yang memanfaatkan investasi di fintech lending untuk memperkuat sistem internal. “Misalnya, soal channeling pembiayaan, perbaikan pemasaran produk, dan lainnya,” kata dia. Oleh karena itu, korporasi besar masih akan masuk ke sektor ini.

Sejauh ini, setidaknya ada delapan konglomerasi Indonesia yang merambah fintech lending. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

PerusahaanFintech Lending
Grup Astra lewat Astra Welab Digital ArtaMaucash
Grup Djarum melalui unit usaha BCA, Central Capital VenturaKlikACC
Julo
Grup MayapadaPohon Dana
Grup Sinar MasOriente Mas Sejahtera (Finmas)
Danamas
PinjamanGo
Modalku (lewat SMDV)
Grup Lippo masuk melalui OVOTaralite
Grup Triputra lewat Triputra Investindo AryaBatumbu
Grup Kawan LamaDanaKini
Grup SalimPede.id

Kalla Group juga mengungkapkan rencanannya untuk merambah fintech pada 2018. Perusahaan milik Wakil Presiden periode 2014-2019 ini pun mendirikan inkubator startup, Saoraja Hub.

Selain dalam negeri, konglomerat asing seperti Samsung dan raksasa teknologi, Alibaba merambah fintech lending Tanah Air. Samsung berinvestasi di Modalku lewat Samsung Venture Investment.

Lalu, Alibaba memiliki sekitar 24,98% saham di Akulaku Silvrr Indonesia. Bahkan, bisnis Akulaku di Indonesia cukup luas. Fintech lending ini merambah bank digital dengan Bank Yudha Bhakti, yang kini bernama Neo Commerce.

Perusahaan milik Jack Ma itu juga mempunyai 20% saham fintech pembayaran asal Thailand, Ascend Money atau True Money melalui Ant Group. Startup ini beroperasi di Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, serta terintegrasi dengan Lazada.

Deputi Direktur Pengaturan Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan pun memperkirakan, ada banyak fintech lending baru pada 2021. Ini karena OJK melakukan moratorium pendaftaran pada 2020. “Apabila dicabut, maka akan banyak yang mendaftar," katanya dalam acara Diskusi Publik Menatap Masa Depan Fintech dan UMKM 2021, medio bulan lalu (15/12).

Ia juga memprediksi, eksplorasi ekosistem fintech pembiayaan masif pada tahun ini. Alasannya, potensi pasarnya masih besar. “Ada banyak peluang penggunaan yang akan dirambah oleh fintech lending pada 2021,” kata dia.

Potensi Bisnis Fintech Lending di Indonesia

OJK mencatat, indeks inklusi keuangan Indonesia hanya 76,19%. Sedangkan laporan Google sebagai berikut:

Selain itu, penjualan ponsel pintar (smartphone) di Indonesia mencapai 338 juta unit tahun ini atau melebihi jumlah penduduk. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Mirza Adityaswara mencatat, porsi kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia baru 55%. “Potensinya kalau di negara lain bisa 70%,” kata dia dalam acara press briefing IFSoc secara virtual, Selasa (29/12).

Oleh karena itu, menurutnya peluang bisnis fintech di Indonesia cukup besar. “Potensi untuk bisnis pendanaan, kredit, pembayaran, investasi hingga robo advisor di Indonesia dalam jangka panjang sangat menarik,” ujar dia.

Pada November lalu (24/11), Partner and Leader, Bain and Company’s Southeast Asia Private Equity Practice Alessandro Cannarsi pun mengatakan bahwa layanan keuangan digital merupakan sektor yang ‘hot’ di Asia Tenggara. “Konsumen dan UKM masif mengadopsi layanan ini pada 2020. Peningkatan ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata dia dalam acara virtual pemaparan e-Conomy 2020.

Peluang di Indonesia bahkan sangat besar, dengan 64 juta lebih UMKM. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2019’,  nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara diproyeksi US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025.  

Namun, dalam studi terbaru Google, Temasek, dan Bain and Company, nilainya bisa lebih besar pada tahun ini karena ada pandemi virus corona