Mengapa Unicorn Indonesia Lebih Pilih IPO di AS Ketimbang Hong Kong?

123RF.com/Daniil Peshkov
Ilustrasi saham
Penulis: Desy Setyowati
18/3/2021, 14.02 WIB
  • Gojek, Traveloka, dan Tokopedia mengkaji IPO di bursa saham AS
  • Investor asal Singapura menilai ada tiga penyebab startup jumbo Asia Tenggara lebih memilih bursa saham AS ketimbang Hong Kong
  • Bursa saham Hong Kong berpotensi gencar menyasar unicorn Asia Tenggara, karena tingginya pendanaan dari investor Tiongkok

 Startup jumbo Indonesia seperti Tokopedia, Traveloka, dan Gojek bersiap mencatatkan saham perdana alias IPO di dua bursa saham (dual listing). Selain Bursa Efek Indonesia (BEI), unicorn dan decacorn itu mengincar Amerika Serikat (AS).

Di satu sisi, bursa saham Hong Kong memiliki indeks Hang Seng Tech dengan 30 perusahaan teknologi di dalamnya seperti AliHealth milik Alibaba, Tencent, ZTE, Xiaomi hingga JD Health dari JD.Com. Zona waktunya juga hanya satu jam lebih cepat dari Jakarta.

Pada pertengahan tahun lalu, indeks Hang Seng bahkan mengubah beberapa kriteria mengenai dual listing dan struktur pemegang saham. Ini untuk menggaet raksasa teknologi, terutama dari Tiongkok.

Meski begitu, startup jumbo Tanah Air lebih memilih bursa saham AS untuk dual listing. Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menilai, ini karena ada beberapa kebijakan bursa saham Hong Kong yang kurang mendukung masuknya startup Indonesia.

“Misalnya, dukungan terhadap class of shares yang berbeda. Perusahaan teknologi kadang memerlukan keputusan voting founders tetap dipertahankan walaupun secara jumlah saham minoritas,” kata Edward kepada Katadata.co.id, Rabu (17/3).

Sedangkan bursa AS rerata sudah melengkapi kebijakan yang mendukung kondisi seperti itu. “Selain itu, dari jumlah traders, bursa AS lebih aktif dan besar,” ujar dia.

Apalagi, unicorn dan decacorn Tanah Air mengincar investasi jumbo lewat IPO. Ia mencontohkan Gojek dan Tokopedia, yang dikabarkan mengkaji merger dan berencana mencatatkan saham perdana.

“Bagi keduanya yang melakukan merger sebelum IPO, selain untuk menggabungkan valuasi masing-masing, juga agar pool investor besar bisa berpartisipasi,” katanya.

Aplikasi Tokopedia dan Gojek (Katadata/Desy Setyowati)

Sebelumnya, sumber Bloomberg mengatakan bahwa Gojek dan Tokopedia telah membahas berbagai skenario kemungkinan merger. Salah satunya, membentuk entitas gabungan yang memungkinkan keduanya mempertahankan merek masing-masing.

Keputusan itu juga akan mengacu pada rencana IPO entitas gabungan di bursa AS dan Indonesia. Salah satu skenario yang dikaji yakni menggabungkan kedua perusahaan sebelum mencatatkan saham perdana.

Skenario lainnya, Tokopedia akan IPO terlebih dahulu di bursa Indonesia. Lalu bergabung dengan Gojek sebelum mendaftarkan entitas gabungan di Negeri Paman Sam.

CLSA Sekuritas memperkirakan nilai kapitalisasi pasar entitas gabungan keduanya US$ 35 miliar – US$ 40 miliar (Rp 504 triliun – Rp 576 triliun). Jika ini benar, maka nilainya melebihi Telkom Rp 329 triliun dan Bank Mandiri Rp 302 triliun. Namun, di bawah BCA sekitar Rp 838 triliun dan BRI Rp 585 triliun.

Pada awal 2020, Presiden Tokopedia Patrick Cao menjelaskan bahwa perusahaan tertarik IPO di AS karena likuiditasnya dinilai besar. Selain itu, “ada (banyak) keahlian di bidang teknologi serta penelitian,” kata dia di sela-sela acara Nikkei Forum Innovative Asia dikutip dari Nikkei Asian Review, Januari 2020 (17/1/2020).

Unicorn lain yang ingin IPO di Negeri Paman Sam yakni Traveloka. IDN Financials melaporkan, startup penyedia layanan perjalanan alias online travel agent (OTA) ini melirik bursa di Negeri Paman Sam karena diminati banyak investor.

Selain itu, bursa Wall Street dinilai melihat Asia Tenggara sebagai kawasan dengan perkembangan pesat dan potensi pertumbuhan tinggi. Traveloka berharap, perusahaan semakin kompetitif setelah IPO di AS.

Dalam sesi wawancara dengan jurnalis Bloomberg, CEO Traveloka Ferry Unardi menyampaikan bahwa perusahaan ingin cepat berkembang. Oleh karena itu, unicorn ini mengkaji IPO tahun ini.

"Jika dapat melakukannya lebih cepat, kami kemudian dapat berfokus pada eksekusi dan mengembangkan perusahaan," kata Ferry, dikutip bulan lalu (16/2).

Pada tahap awal, Traveloka akan IPO di Wall Street, AS. Namun, Ferry tidak memerinci bursa saham AS yang akan dipilih yakni New York Stock Exchange (NYSE) atau Nasdaq.

Traveloka juga sudah menggaet JPMorgan Chase & Co untuk proses IPO. Setelah AS, unicorn itu mengkaji penawaran saham perdana di BEI.

Di bursa AS, Traveloka akan IPO lewat perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC). "SPAC sangat efisien,” kata Ferry.

(BACA JUGA: Mengenal SPAC, 'Kendaraan' Tokopedia untuk Tembus Bursa Saham AS)

CEO perusahaan venture builder yang berbasis di Singapura, Momentum Works, Li Jianggan menilai ada tiga alasan startup Asia Tenggara tidak melirik bursa saham Hong Kong untuk IPO. Pertama, faktor keakraban.

“Banyak dari perusahaan teknologi besar ini (di regional) didirikan oleh wirausahawan yang berpendidikan di AS. Atau, dikelilingi oleh investor dan eksekutif senior yang belajar di AS,” kata Li dalam kolom opini di South China Morning Post (SCMP), Selasa (16/3).

Kedua, investor startup digital di kawasan ini kurang terpapar informasi seputar bursa saham Hong Kong. Terakhir, sebagian besar bank investasi Hong Kong belum mengenal perusahaan teknologi Asia Tenggara.

Selain itu, “bank investasi di Hong Kong lebih suka mengerjakan IPO untuk perusahaan teknologi Tiongkok daripada Asia Tenggara,” kata Li.

IPO Kuaishou misalnya, mengumpulkan US$ 5,4 miliar. Lalu, IPO Ant Group, jika jadi dilakukan, akan meraup lebih dari US$ 30 miliar. Di regional, hanya tiga yang memiliki valuasi lebih dari US$ 5,4 miliar, yakni Grab, Gojek, dan Tokopedia.

Akan tetapi, ia melihat peluang yang semestinya bisa diambil oleh otoritas bursa saham Hong Kong untuk menarik unicorn Asia Tenggara. Potensi yang dimaksud yakni banyaknya perusahaan Tiongkok yang berinvestasi di startup regional.

Berdasarkan kajian Momentum Works dan Cento Ventures, ada lebih dari 50 kesepakatan di Asia Tenggara pada tahun lalu, yang melibatkan investor Negeri Panda. Jumlahnya melonjak signifikan dibandingkan 2014 yang kurang dari 10.

“Ini menunjukkan bahwa lebih banyak pendiri teknologi di regional yang memiliki latar belakang Tionghoa, atau didukung oleh mereka,” kata Li. “Bagi Hong Kong, untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat keuangan regional, menarik perusahaan Asia Tenggara untuk mendaftar, akan menjadi sangat strategis dan menguntungkan dalam jangka panjang.”

Di satu sisi, investor AS juga mengincar startup Asia tenggara, termasuk Nusantara. “Indonesia merupakan populasi internet terbesar keempat di dunia, memiliki banyak perusahaan rintisan teknologi yang menarik dan pasar terbesar, "kata wakil presiden di Lightspeed Venture Partners di Singapura, Pinn Lawjindakul, dikutip dari  SCMP, November 2020 (30/11/2020).

Pinn memperkirakan ada lebih banyak perusahaan global yang berinvestasi di Nusantara. “Ini merupakan waktu yang sangat menarik bagi para pendiri dan investor di Indonesia dan Asia Tenggara,” kata dia.

Unicorn/DecacornInvestor ASInvestor Tiongkok
GojekFacebook, PayPal, Google, Visa, Pegasus Tech Ventures, Sequoia CapitalTencent, JD.Com
TokopediaGoogleAlibaba
TravelokaGFC, Sequoia CapitalJD.com, Hillhouse Capital
BukalapakMicrosoftAnt Financial

Sumber: data diolah

Hal itu terjadi AS dan Tiongkok memulai pemisahan ekosistem teknologi. Keduanya pun mulai mengincar perusahaan teknologi di regional.

"Ini untuk menghindari gangguan dan pemisahan (ekosistem) yang tidak produktif tanpa tujuan,” kata penulis laporan, yang dipimpin oleh analis data Rhodium Adam Lysenko, dikutip dari SCMP, Januari 2020 (15/1/2020).

Indonesia berpeluang menampung lebih banyak peralihan dana dari AS dan Tiongkok. Selain karena jumlah pengguna internet yang hampir mencapai 200 juta, nilai ekonomi digital di Nusantara cukup besar.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy SEA 2020’ nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara US$ 105 miliar atau sekitar Rp 1.475 triliun pada tahun ini. Sebanyak US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia.

Nilai ekonomi digital di Indonesia dan transaksi per sektor (Google, Temasek, dan Bain and Company: e-Conomy 2020)

Selain itu, startup di Indonesia mulai mempertimbangkan IPO lewat perusahaan cek kosong atau SPAC. Ini lebih dulu tren di AS.

Secara global, jumlah IPO SPAC pada tahun ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan total setahun penuh 2019. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Reporter: Desy Setyowati