Startup Jumbo RI Berpeluang Besar Masuk Bursa Saham Tahun Ini
- Peluang startup jumbo Indonesia untuk IPO membesar pada 2021, karena ada vaksinasi hingga Omnibus Law
- BEI mengkaji aturan baru untuk memudahkan startup IPO pada tahun ini
- Unicorn dan Decacorn dinilai perlu segera IPO
Peluang bagi unicorn dan decacorn Tanah Air untuk mencatatkan saham perdana alias IPO pada tahun ini dinilai membesar. Ini karena ada sejumlah faktor seperti valuasi yang terlalu tinggi, aturan baru hingga vaksinasi Covid-19.
Vice President Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai, peluang decacorn seperti Gojek untuk IPO sangat besar. “Ini lebih pada keharusan, karena mereka sudah challenging untuk raise private capital,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (19/1).
Selain itu, sebagian besar startup jumbo masih melakukan promosi atau ‘bakar uang’ sembari berfokus pada pertumbuhan berkelanjutan. “Tetapi, valuasi dan kebutuhan dananya sudah cukup tinggi,” ujarnya. Oleh karena itu, IPO menjadi salah satu pilihan.
Pesaing Gojek, Grab pun dikabarkan menjajaki IPO pada tahun ini. Decacorn Singapura itu disebut-sebut mengincar dana segar US$ 2 miliar atau Rp 28 triliun lewat IPO.
Meski begitu, ia mengakui bahwa pandemi corona menjadi tantangan bagi perusahaan untuk melantai di bursa saham. “Ketidakpastian masih tinggi, meskipun vaksin Covid-19 mulai didistribusikan,” kata dia.
Akan tetapi, ia menyampaikan bahwa MDI Ventures tengah menyiapkan IPO dua startup portofolio di dalam dan luar negeri. Namun, Aldi tidak memerinci nama dan sektor perusahaan rintisan yang dimaksud, maupun waktunya.
Berdasarkan laman resmi, beberapa portofolio MDI Ventures di bidang fintech seperti Kredivo, Payfazz, dan Qoala. Lalu, sektor kesehatan yakni Alodokter dan Heals, serta pendidikan Bahaso, dan banyak lagi.
Beberapa analis menilai, vaksin virus corona, pemulihan ekonomi, dan Omnibus Law dapat mendongkrak optimisme investor pada tahun ini. Mereka pun memperkirakan ada startup Indonesia yang IPO pada 2021.
“Banyak perusahaan yang menunda rencana hingga 2021,” kata Manajer riset dan pengembangan di perusahaan sekuritas Mirae Asset Sekuritas Indonesia Lee Young Jun dikutip dari Asia Nikkei, pekan lalu (11/1). “Terlepas dari virus corona, kami melihat permintaan yang kuat untuk pendanaan (IPO) dan (dengan vaksin) ini dapat memicu jumlah (pencatatan saham perdana) yang lebih besar pada 2021.”
Hal senada disampaikan oleh Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li. “Kami melihat minat dari banyak startup di berbagai sektor yang mempertimbangkan IPO untuk mengumpulkan uang,” kata dia. “Jika Anda melihat pasar, BEI sudah mulai pulih, mendekati situasi pra-pandemi.”
Selain vaksin, Disruptive events advisory leader di Deloitte Indonesia Joe Lai menilai bahwa Omnibus Law dapat mendongkrak minat untuk IPO. Ini karena UU tersebut mencakup 79 revisi peraturan yang memudahkan prosedur birokrasi untuk bisnis.
Regulasi itu juga mengatur penurunan tarif pajak perusahaan dari 25% menjadi 22%. “Ini akan menjadi tarif yang sangat kompetitif,” kata Joe. “Kami memperkirakan minat IPO di Indonesia menguat.”
Sebagian besar unicorn di Indonesia memang menyatakan minatnya untuk IPO. Tokopedia misalnya, sudah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai penasihat untuk IPO. Namun, “saat ini, kami belum memutuskan pasar dan metode untuk ini,” ujar perwakilan Tokopedia kepada Katadata.co.id, bulan lalu (16/12).
Salah satu opsi untuk IPO yang dikaji oleh Tokopedia yakni perusahaan cek kosong alias SPAC. Unicorn e-commerce ini memang sempat dikabarkan bakal merger dengan SPAC asal Amerika Serikat (AS) Bridgetown Holdings Ltd.
Namun belakangan, Tokopedia disebut-sebut mengkaji merger dengan Gojek. Investornya yakni SoftBank pun dikabarkan mendukung rencana konsolidasi ini.
Traveloka juga mengkaji IPO lewat SPAC. "SPAC merupakan salah satu opsi yang dievaluasi, karena kami telah didekati oleh beberapa orang," kata Presiden Traveloka Henry Hendrawan dalam pernyataan resmi dikutip dari Reuters, Senin (21/12).
Ia sempat menyampaikan bahwa Traveloka berencana IPO di dua bursa yakni Indonesia dan AS. Untuk bisa menjadi perusahaan publik, startup ini berfokus meraup untung.
Henry optimistis perusahaan akan mencapai titik impas (break even point/BEP) pada akhir tahun atau awal 2021, jika industri perjalanan pulih setidaknya 50% dibandingkan sebelum ada Covid-19. Selain itu, akan segera meraih keuntungan.
(BACA JUGA: Seperti Tokopedia, Traveloka Kaji IPO lewat Perusahaan Cek Kosong)
Bukalapak dan Gojek juga berencana IPO. Namun, keduanya enggan menanggapi permintaan komentar dari Reuters terkait potensi IPO lewat SPAC.
Sedangkan startup yang bersiap IPO pada tahun ini yakni LinkAja. Pada November 2020 lalu, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kementerian berencana mendorong fintech pembayaran itu untuk mencatatkan saham perdana dalam satu hingga 1,5 tahun ke depan.
Sejauh ini, ada beberapa startup yang sudah melantai di bursa saham. Mereka di antaranya Surge Digital Ecosystem, Cashlez, Yelooo Integra Datanet, Tourindo Guide Indonesia, M Cash Integrasi, Digital Mediatama Maxima, Distribusi Voucher Nusantara, Kioson Komersial Indonesia, NFC Indonesia, dan Telefast Indonesia.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna tak dapat berkomentar mengenai potensi IPO lewat SPAC di Tanah Air, karena belum ada yang mengajukan. Namun, "ada banyak kesempatan diskusi dengan para pendiri startup terkait IPO maupun investor seperti private equity dan modal ventura," kata dia, bulan lalu (24/12/2020).
Akan tetapi, BEI kini menyiapkan perubahan peraturan pencatatan nomor I-A. Nantinya, ada beberapa alternatif persyaratan pencatatan, sehingga dapat mengakomodasi berbagai karakteristik perusahaan, termasuk startup, yang mencatatkan saham di BEI.
Otoritas bursa sudah mendiskusikan rancangan peraturan tersebut dengan para stakeholder, termasuk pendiri startup dan modal ventura, pada bulan lalu. “Dari hasil diskusi, kami optimistis bahwa perusahaan-perusahaan teknologi dapat segera IPO,” ujar Nyoman kepada wartawan, dua pekan lalu (7/1). “Kami berharap aturan ini segera rampung.”
Sebelumnya, BEI sudah menyiapkan dua inisiatif untuk mendorong perusahaan dengan nilai aset skala kecil hingga menengah, termasuk startup, mau IPO. Pertama, membentuk papan akselerasi pada tahun lalu.
Saat ini, ada lima emiten yang menjadi konstituen papan akselerasi itu. Mereka di antaranya Tourindo Guide Indonesia, Prima Globalindo Logistik, Planet Properindo Jaya, Boston Furnitures Industries, dan Cashlez Worldwide Indonesia. Cashlez merupakan startup fintech.
Inisiatif kedua yakni mengembangkan ruang inkubasi, IDX incubator. Ada 62 startup binaan di Jakarta, 27 di Surabaya, dan 24 di Bandung.
(BACA JUGA: Mengenal SPAC, 'Kendaraan' Tokopedia untuk Tembus Bursa Saham AS)
Sedangkan selama ini, lanskap exit strategy startup di Asia Tenggara sebagian besar berupa merger dan akuisisi. Sedangkan untuk fintech, dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures memperkirakan, tren konsolidasi akan berlanjut di sektor startup fintech. Namun fokusnya pada asuransi (insurtech) dan penyedia solusi bisnis.