Ada Zombi Unicorn, Investor Sarankan Startup Genjot Profit Sebelum IPO

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.
Pekerja membersihkan podium berlatar belakang layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (28/4/2022).
25/5/2022, 12.33 WIB

Muncul istilah ‘zombi unicorn’ di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) lantaran banyak perusahaan teknologi yang melakukan PHK karyawan. Sentimen di balik kondisi ini dinilai akan berpengaruh ke rencana startup Indonesia untuk pencatatan saham perdana ke publik atau IPO tahun ini.

Analis PT Kanaka Hita Solvera (KHS) William Wibowo menyarankan startup menunggu momentum yang pas dan memperkuat profitabilitas sebelum IPO. "Ini mengingat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang mengalami tren penurunan dalam beberapa waktu ke depan," kata kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (23/5).

Menurutnya, harga saham perusahaan teknologi global turun karena sentimen negatif, seperti tingginya inflasi dunia, kebijakan bank sentral AS, The Fed yang menaikkan suku bunga, serta kekhawatiran geopolitik.

Di Indonesia, tren penurunan harga saham telah menimpa startup yang telah IPO seperti Bukalapak dan GoTo. Menurut dia, ada peluang tren penurunan harga saham GoTo dan Buka berakhir.

Namun, hal itu dengan catatan saham tidak menembus harga paling rendah. "Apabila level harga terendah berhasil ditembus, artinya tren penurunan ini masih akan berlanjut," katanya.

Sedangkan Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani memperkirakan bahwa kondisi koreksi pasar atau tren penurunan harga saham perusahaan teknologi akan cukup lama untuk pulih. "Mungkin bakal berlangsung satu sampai dua tahun ke depan," ujarnya.

Dengan begitu, ia menyarankan agar startup yang berencana IPO tahun ini tidak perlu menunda. Sebab, akan terlalu lama menunggu kondisi berbalik.

"Dengan catatan, startup yang berencana IPO perlu mengubah direction dan model bisnis agar bisa membuktikan ketahanan dalam kondisi seperti ini," ujarnya.

Startup juga perlu untuk meningkatkan laba bersih dan aset fisik terlebih dahulu untuk meningkatkan kepercayaan para investor.

"Kebutuhan pasar saat ini adalah startup yang bisa menghasilkan pertumbuhan pendapatan secara nyata dan profit," kata Edward.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro juga mengatakan, bagi startup yang berencana IPO, tidak ada salahnya untuk tetap menjalankan aksi sesuai rencana. "Investornya akan senang saja kalau IPO. Ini akan membawa likuiditas ke investor," ujarnya.

Akan tetapi, startup yang berencana IPO harus memastikan dirinya mencapai profitabilitas. "Kalau sudah ada peta jalan ke profit, dia bisa-bisa saja IPO," kata Eddi.

Sebelumnya, perusahaan modal ventura Jungle Ventures menyarankan startup portfolionya untuk tidak buru-buru IPO.

Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand juga menyampaikan, tiga startup portofolionya menunda rencana IPO. Ia tidak memerinci nama perusahaan rintisan yang dimaksud.

Namun, Kredivo merupakan salah satu startup portofolio Jungle Ventures. Pada Maret, perusahaan teknologi finansial (fintech) ini mengumumkan batal merger dengan perusahaan cek kosong (SPAC) VPC Impact Acquisition Holdings II.

Anand mengatakan, Jungle Ventures memang menyarankan startup portofolio untuk tidak terburu-buru kembali ke pasar, mengingat volatilitas baru-baru ini dan kendala sisi penawaran.

"Kami melihat sedikit koreksi besar,” kata Anand dikutip dari CNBC Internasional, akhir pekan lalu (19/5). “Jika mereka bisa, mereka harus memperhatikan ini sedikit lebih lama sebelum kembali ke pasar sehingga memiliki sedikit lebih banyak prediktabilitas.”

Volatilitas harga saham memang tengah dirasakan oleh perusahaan teknologi di negara lain, seperti di Silicon Valley, AS. Beberapa di antaranya juga melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK.

Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.

Sejumlah perusahaan teknologi di Silicon Valley, AS mencatatkan kinerja buruk dan disebut zombie unicorn. Frasa zombi unicorn merujuk pada perusahaan rintisan bernilai tinggi tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan bisnis mereka.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan