Gurita Bisnis Facebook yang Dipaksa Pisah dari Instagram dan WhatsApp

123RF.com/macrovector
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
14/12/2020, 17.15 WIB
  • Ingin seperti WeChat, layanan Facebook berkembang dari media sosial menjadi social commerce hingga merambah gim
  • Facebook meraup Rp 973,2 triliun dari iklan pada 2019
  • Memiliki 3,2 miliar pengguna aktif, Facebook dituntut menjual Instagram dan WhatsApp

Komisi Perdagangan Federal atau FTC dan 48 negara bagian Amerika Serikat (AS) mengajukan tuntutan hukum agar Facebook Inc menjual WhatsApp dan Instagram, karena dianggap mematikan persaingan. Bisnis raksasa teknologi ini memang berkembang pesat. Bukan lagi hanya media sosial, tetapi juga merambah social commerce hingga gim online.

Facebook mengakuisisi Instagram US$ 1 miliar pada 2012. Kemudian  WhatsApp US$ 19 miliar dan Oculus US$ 2,3 miliar pada 2014. Setidaknya raksasa teknologi ini telah mengambil alih 87 perusahaan sejak 2005.

Atas nama koalisi 48 negara bagian, Jaksa Agung New York, Letitia James menilai bahwa Facebook memonopoli pasar dan menghancurkan pesaing yang lebih kecil selama hampir satu dekade terakhir. Oleh karena itu, ia mendorong perusahaan melepas Instagram dan WhatsApp.

“Waktu, perhatian, dan data pribadi pengguna digabungkan dan dijual dengan cara yang tidak adil,” kata FTC dikutip dari Financial Times, Senin (14/12).

Regulator Jerman juga memulai proses investigasi terhadap Facebook terkait penautan produk realitas virtual (VR) Oculus dengan media sosial. Perusahaan dinilai menyalahgunakan kekuatan.

COO Facebook Sheryl Sandberg menentang tuntutan tersebut. Ia mengatakan bahwa akuisisi Facebook terhadap Instagram dan WhatsApp telah disetujui oleh pemerintah AS.

“Jika Anda membeli perusahaan, lalu delapan atau 10 tahun kemudian, pemerintah meminta untuk melepasnya, itu akan menjadi masalah mengerikan yang sangat besar bagi bisnis di AS. Kami tidak akan bisa bersaing secara global,” kata Sandberg dalam acara Tamron Hall, dikutip dari CNBC Internasional, Sabtu (12/12).

Ia juga membantah anggapan bahwa Facebook tidak mematikan persaingan. “Ada iMessage, TikTok, Snapchat. Banyak di antaranya telah berkembang sangat besar dan cepat,” kata Sandberg. “Anda punya banyak pilihan.”

Berdasarkan data Statista, jumlah pengguna Instagram hanya 30 juta pada April 2012 atau ketika diakuisisi. Sedangkan WhatsApp memiliki 450 juta konsumen pada Februari 2014.

Perkembangan jumlah pengguna Instagram dan WhatsApp setelah diakuisisi oleh Facebook (Statista)

Kini, Instagram dan WhatsApp masing-masing memiliki 1 miliar dan 2 miliar lebih pengguna. Per kuartal III, Facebook mempuyai 3,2 miliar pengguna aktif bulanan atau monthly active users (MAU) secara keseluruhan.

Sedangkan TikTok mempunyai sekitar 800 juta MAU. Sedangkan angka pengguna per negara dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Meski begitu, bisnis Facebook bukan lagi sekadar media sosial. Pada awal 2019, CEO Facebook Mark Zuckerberg menyampaikan keinginannya agar aplikasi di bawah naungan perusahaan menjadi ‘toko serba ada’ seperti WeChat milik Tencent.

Professor of Management Practice at Harvard Business School Willy C Shih menilai, Facebook sudah menjadi aplikasi mega atau mega app yang lebih unggul dibandingkan WeChat. Ini karena Facebook merambah banyak negara, sementara WeChat besar di Tiongkok.

Pada Maret 2019, Facebook mengungkapkan rencananya untuk mengintegrasikan Facebook, Messenger, WhatsApp dan Instagram. Wacana ini diuji coba pada September lalu, dengan memperkenalkan account center.

Di satu sisi, Facebook telah mengakuisisi setidaknya 87 perusahaan yang sebagian besar mengembangkan perangkat lunak (software) seperti ShareGrove, Divvyshot, Osmeta.Inc, dan Parse.

Banyaknya perusahaan yang diakuisisi memungkinkan Facebook mengembangkan banyak fitur pada aplikasi media sosialnya. Anggota parlemen Inggris yang memimpin penyelidikan terhadap raksasa teknologi, Damian Collins pun mengatakan, Facebook menggunakan kekuatannya untuk menekan perusahaan lain agar melakukan kesepakatan terkait data

“Itu untuk memberikan akses istimewa atas data kepada perusahaan yang penting bagi Facebook. Bagaimana caranya? Yakni menggunakan data untuk menganalisis aplikasi yang digunakan konsumen, sehingga dapat menentukan pesaing mana yang berpotensi menjadi ancaman,” ujar Damian dikutip dari BBC, Sabtu (12/12).

Pada April 2019, Facebook pun memperkenalkan dompet digital, Facebook Pay. Layanan ini kompatibel dengan kartu debit dan kredit, serta platform pembayaran lain seperti PayPal dan Stripe.

Pengguna dapat menambahkan PIN atau menggunakan biometrik untuk mengamankan dompet digital tersebut. Layanan ini disiapkan untuk mendukung fitur belanja pada WhatsApp, Facebook, dan Instagram.

Facebook mengembangkan fitur belanja sejak 2016. Perusahaan meluncurkan toko online, Facebook Shop yang memungkinkan pelanggan menelusuri produk dan menandai yang favorit pada Mei lalu.

Layanan tersebut tersedia di Indonesia pada awal September. Akses untuk berbelanja online pun diperluas bukan hanya di feed dan laman profil, tetapi juga galeri, IGTV, dan platform baru pesaing TikTok yakni Reels.

instagram e-commerce (facebook)

Facebook juga berencana meluncurkan fitur pembayaran di Instagram bagi konsumen di AS terlebih dulu. Namun, ini akan tersedia bagi pedagang yang menggunakan layanan manajer niaga dari Facebook, Shopify dan BigCommerce.

“Model bisnis kami di sini adalah iklan,” kata CEO Facebook Mark Zuckerberg dikutip dari The Guardian, Mei lalu (19/5). Oleh karena itu, perusahaan belum memungut komisi. “Mereka pada umumnya akan menawar lebih tinggi untuk iklan dan pada akhirnya kami akan menghasilkan uang dengan cara itu.”

Facebook juga menyediakan layanan katalog produk melalui WhatsApp. Yang terbaru,  mereka meluncurkan fitur cart, yang memungkinkan pengguna memilih beberapa produk dan memasukkannya ke keranjang belanja digital.

Selain Facebook, raksasa teknologi AS, Google dan TiongkokTikTok mulai mengembangkan fitur belanja online. Berdasarkan laporan McKinsey, social commerce adalah platform yang memfasilitasi jual-beli produk melalui media sosial. Sedangkan e-commerce memfasilitasi transaksi, termasuk pembayaran dan pengiriman.

Dalam laporan McKinsey berjudul ‘The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia’s Economic Development’ pada 2018, penjualan di social commerce diprediksi US$ 25 miliar.

Sedangkan e-commerce diramal tumbuh delapan kali lipat menjadi US$ 40 miliar pada 2022. Proyeksi ini belum menghitung dampak pandemi virus corona.

Facebook juga merambah mata uang digital lewat, Libra pada tahun lalu. Perusahaan pun membentuk asosiasi yang akan memantau perkembangan Libra, yang beranggotakan modal ventura, organisasi nirlaba, perusahaan cryptocurrency, keuangan, serta penyedia layanan teknologi dan telekomunikasi.

Raksasa teknologi itu juga membentuk unit bisnis baru yang menyediakan layanan dompet digital, Novi, yang sebelumnya bernama Calibra. Layanan ini berbeda dengan Facebook Pay.

Aplikasi dompet digital Calibra (Facebook.com)

Akan tetapi, pengembangan Libra terhambat persoalan regulasi. Oleh karena itu, perusahaan memutuskan untuk membuat alternatif berupa stablecoin yakni cryptocurrency yang nilainya tidak berfluktuasi, karena merujuk pada mata uang tertentu.

Facebook dikabarkan bakal meluncurkan Libra pada awal 2021. “Kemungkinan diluncurkan bersamaan dengan Novi,” demikian dikutip dari TechCrunch, bulan lalu (27/11).

Perusahaan teknologi itu pun merambah gim online dengan meluncurkan aplikasi khusus gim, yang sebelumnya hanya berupa tab games di platform. Hal ini seiring dengan melonjaknya penggunaan (usecase) dan pengguna (user) di tengah pandemi corona.

Setiap bulan ada lebih dari 700 juta pengguna yang berinteraksi dengan konten gim di Facebook. Ada sekitar 160 juta pengguna aktif di 450 ribu grup terkait game online di platform selama Maret.

Jumlah penonton konten gim di Facebook Gaming di Indonesia tumbuh 210% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2019. Padahal, Facebook Gaming baru berupa tab di platform, belum menjadi aplikasi khusus.

Facebook Gaming di Indonesia juga tumbuh secara signifikan. Tahun lalu, jumlah penonton konten gim Facebook di Nusantara tumbuh 210%.

Platform Facebook Gaming (Google Play Store)

Pengembangan lini bisnis tersebut memungkinkan Facebook meningkatkan keuntungan dari dan di luar iklan. CNN Internasional melaporkan, perusahaan asal AS meraupUS$ 67,7 miliar atau sekitar Rp 973,2 triliun dari iklan pada tahun lalu.

Iklan berkontribusi 98% dari total pendapatan. Namun, Facebook memperkirakan bahwa persaingan tahun depan lebih ketat, karena perusahaan lain akan mengalihkan bisnis iklan ke platform online.

“Perdagangan online merupakan vertikal iklan terbesar kami. Perubahan tren ini dapat menjadi hambatan bagi pertumbuhan pendapatan iklan kami pada 2021,” kata perusahaan dikutip dari Reuters, Oktober lalu (30/10).