Pertamina: Panas Bumi Kunci untuk Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik

ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom.
Alat berat digunakan pada pembangunan sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022).
9/11/2022, 10.15 WIB

Pengembangan energi panas bumi atau geothermal disebut menjadi salah satu gerbang untuk transisi energi. Selain menghasilkan listrik bersih, panas bumi bisa digunakan untuk menghasilkan produk hilir seperti hidrogen hijau.

Senior Vice President, Research & Technology Innovation Pertamina, Oki Muraza, mengatakan panas bumi merupakan salah satu dari delapan pilar transisi energi di lingkup internal Pertamina grup, bahkan menjadi bagian terpenting sekaligus pilar terkuat.

"Setelah kita punya panas bumi, kita juga punya listrik hijau dan kemudian dari listrik hijau itu kita dapat berbicara tentang ekosistem kendaraan listrik," kata Oki pada agenda Paviliun Indonesia di COP27 bertajuk Achieving the Net Zero Goal Through Enviromentally-Friendly Geothermal Renewable Energy Operations pada Selasa (8/11).

Oki menambahkan, prasyarat untuk membentuk ekosistem kendaraan listrik pada dasarnya harus menyediakan sumber listrik bersih. pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga bisa menjadi modal untuk masuk ke dalam pasar perdagangan karbon dengan menjual kredit karbon kepada pelaku industri yang menghasilkan emisi berlebih.

"Adanya listrik hijau dan setelah kami mendapat kredit dari panas bumi, kami juga terbuka untuk ekonomi karbon di mana kami dapat memperdagangkan dan memasarkan kredit karbon," ujar Oki.

Melihat potensi sumber energi panas bumi di Tanah Air yang mencapai 24 giga watt (GW), Pertamina melalui Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) bakal terus aktif melakukan kegiatan ekplorasi, pengeboran, sampai tahap produksi. "Selama ini kita hanya memanfaatkan kurang dari 10% dari potensi yang dimiliki," ucap Oki.

Menurut paparannya, Oki menyebut Pertamina NRE sudah memiliki 672 mega watt (MW) kapasitas terpasang dari listrik bersih yang dihasilkan dari PLTP. Angka ini berpeluang terus melonjak seiring adanya 1,205 MW kapasitas terpasang yang masih menunggu kontrak kerja sama operasi atau joint operation contract.

Adapun kapasitas terpasang dari energi panas bumi tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang mencakup PLTP Sibayak berkapasitas 12 MW, PLTP Lumut Balai 55 MW dan PLTP Ulubelu 220 MW. Lebih lanjut, ada PLTP Kemojang berkapasitas 235 MW, PLTP Karaha 30 MW dan PLTP Lahendong dengan kapasitas 120 MW.

Sebelumnya diberitakan, Pertamina tengah menjajaki pembentukan konsorsium dengan beberapa perusahaan asing untuk pengembangan hidrogen hijau dan amonia hijau yang diperoleh dari sumber wilayah kerja panas bumi (WKP) di daerah Sumatera.

Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Power Indonesia (PPI), Fadli Rahman, mengatakan perseroan tengah menjajaki kerja sama dengan perusahaan migas asal Amerika Serikat, Chevron dan perusahaan energi asal Singapura, Keppel Corporation.

"Pertamina sudah mulai diskusi dari akhir tahun lalu, jadi tahun ini sudah mulai kami kongkritkan untuk studi-studinya," kata Fadli saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN pada Selasa (8/11).

Selain itu, Pertamina juga telah menyepakati studi bersama atau joint study pengembangan hidrogen hijau dan hidrogen biru bersama Krakatau Steel dan IGNIS Energy Holdings.

Keseriusan Pertamina pada pengembangan hydrogen dan amonia kembali dipertegas melalui penandatanganan studi bersama dengan IGNIS Energy Holdings dan Sembcorp Energy Indonesia untuk produksi hidrogen.

Lebih dari itu, sebelumnya Pertamina telah menyepakati kesepakatan studi bersama untuk pengembangan hidrogen hijau dan amonia hijau dengan Tokyo Electric Power Company (TEPCO). Mitsubishi Corporation, juga disebut telah menjalin kerja sama dengan Pertamia soal pengembangan hidrogen dan amonia.

"Total ada kerja sama dengan lima perusahaan, dekat-dekat ini akan masuk ke tahap studi kelayakan dengan Chevron dan Keppel," ujar Fadli.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu